Sabtu, 26 Desember 2009

Bahasa Indonesia Pemicu Musnahnya Bahasa Daerah

21 November 2007
Ahli bahasa dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI), Jakarta, Prof Dr Multamia Lauder mengungkapkan kenyataan, tanpa disadari pemakaian bahasa nasional sebagai bahasa pengantar di sekolah merupakan pemicu pemusnahan bahasa daerah melalui sektor pendidikan. "Tapi minimnya guru dari kelompok bahasa minoritas, sehingga terpaksa menggunakan bahasa nasional, juga menjadi pemicu kemusnahan bahasa daerah tertentu itu," kata Multamia, pada Kongres Bahasa-Bahasa Daerah wilayah barat di Bandarlampung, pekan lalu. Padahal bahasa itu menjadi aman dan bisa lestari, kalau terus digunakan oleh banyak penutur dalam kehidupan di lingkungan keluarga, masyarakat luas, maupun di sekolah dan tempat umum lainnya. Kongres Bahasa-Bahasa Daerah wilayah barat diikuti para ahli bahasa, utusan berbagai profesi, pejabat pemerintah dan profesional serta wartawan dari berbagai daerah di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan beberapa daerah lainnya.

Menurut Prof Multamia, secara ideal setiap anak berhak mendapatkan pendidikan melalui bahasa ibu, sehingga fraktor transmisi antargenerasi merupakan salah satu faktor terpenting untuk kelangsungan hidup sebuah bahasa.

Dia menyebutkan, secara operasional dikenal lima tahap klasifikasi kesehatan bahasa karena berbagai sebab, mulai dari berpotensi terancam punah, terancam punah, sangat terancam punah, sekarat, hingga punah benar-benar.

Dia mengemukakan, sebanyak 85 persen penduduk Indonesia masih menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa sehari-hari di rumah. "Bahasa ibu itu adalah jendela untuk melihat realitas dunia yang sangat kompleks dan sebagai pembentuk perilaku serta jati diri," kata dia lagi. Bahasa ibu itu juga menjadi jembatan untuk memahami ekspresi nilai, norma, aturan, adat kebiasaan, dan kearifan lokal menjaga lingkungan.

Di Indonesia, disebutkan terdapat sedikitnya 726 hingga 742 bahasa daerah yang tersebar di seluruh tanah air, namun hanya 13 bahasa daerah yang tergolong aman karena penuturnya masih banyak, memiliki aksara dan tata bahasa serta kamus, telah didokumentasikan, serta masih diajarkan di sekolah serta digunakan di lingkungan keluarga maupun masyarakat luas. Ketigabelas bahasa daerah itu adalah bahasa Aceh, Batak, Melayu, Minangkabau, Rejang, Lampung, Sunda, Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bugis, dan Makassar.

UU Bahasa

Kongres Bahasa-Bahasa Daerah Wilayah Barat di Bandarlampung merekomendasikan dukungan bagi penetapan Rancangan Undang Undang Kebahasaan menjadi UU Kebahasaan, untuk memberikan perlindungan secara utuh terhadap bahasa daerah.

Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung, Agus Sri Danardana yang membacakan rumusan rekomendasi hasil Kongres Bahasa-Bahasa Daerah wilayah Barat, di Bandarlampung menyebutkan kondisi bahasa-bahasa daerah di Indonesia kini memprihatinkan, beberapa di antaranya bahkan terancam punah, dan itu tidak dapat dibiarkan saja.

Hasil Kongres itu merekomendasikan berbagai pihak perlu mendukung dan ikut memperjuangkan RUU Kebahasaan menjadi Undang-Undang Kebahasaan sebagai landasan dalam upaya melindungi, melestarikan, dan mengembangkan bahasa dan sastra daerah sebagai manifestasi Pasal 32, 36, dan 36c Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam kongres yang diikuti utusan dari berbagai daerah di Sumatera, Kalimantan, DKI Jakarta, Jawa, NTT dan Bali itu, terungkap bahwa bahasa dan sastra daerah sebagai bagian dari kebudayaan nasional merupakan lambang kebanggaan dan identitas daerah, sarana komunikasi serta pendukung budaya daerah dan budaya nasional.

Namun pada era global seperti saat ini, keberadaan bahasa dan sastra daerah makin terancam akibat berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat.

Kondisi tersebut harus segera diatasi melalui penanganan secara sungguh-sungguh, terarah, dan terencana, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dengan melibatkan lembaga sosial dan lembaga adat di daerah.

Berbagai potensi yang tersedia harus digali dan dimanfaatkan semaksimal mungkin agar bahasa dan sastra daerah tetap lestari, terpelihara, dan berkembang sehingga kedudukan dan fungsi serta peran bahasa daerah pun makin mantap.

Sejumlah poin yang dirumuskan sebagai rekomendasi hasil Kongres Bahasa-Bahasa daerah itu, di antaranya menyatakan potensi bahasa dan sastra daerah serta nilai-nilai luhur dan kearifan lokal yang terkandung di dalamnya, perlu dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menapis budaya global yang dapat mengancam keberadaan bahasa dan sastra daerah.

Guna mendukung upaya pemeliharaan, pelestarian, dan pengembangan bahasa serta sastra daerah, termasuk untuk keperluan perumusan bahasa yang standar di setiap daerah, perlu dilakukan penelitian terhadap berbagai aspek kebahasaan dan kesusasteraan daerah.

Perlu pula dilakukan inventarisasi, dokumentasi, dan kodifikasi terhadap bahasa dan sastra daerah dalam bentuk kamus, tata bahasa, ensiklopedia, dan sejenisnya sebagai acuan bagi masyarakat dalam upaya peningkatan penguasaan bahasa daerah dan peningkatan apresiasi terhadap sastra daerah.

Penguasaan terhadap bahasa daerah dan sikap apresiatif terhadap sastra daerah perlu diturunkan kepada generasi penerus bangsa melalui pengajaran, baik di jalur formal (sekolah) maupun jalur informal (keluarga dan masyarakat).

"Perlu dilakukan berbagai upaya untuk menanamkan kecintaan dan kebanggaan generasi penerus bangsa terhadap bahasa dan sastra daerah," kata Sri Agus Danardana pula.

Kongres juga merekomendasikan agar bahasa daerah tetap lestari dan mampu mengemban fungsinya sebagai sarana komunikasi kedaerahan, dan karena itu peran serta dan kesadaran serta dukungan segenap komponen masyarakat, baik perseorangan, lembaga-lembaga sosial, lembaga adapt, maupun pemerintah sangat diperlukan, dengan tetap menggunakan bahasa daerah tersebut dalam ranah keluarga, adat istiadat, dan seni budaya daerah.

Lembaga-lembaga sosial, lembaga-lembaga pemangku adat, media massa lokal, dan komunitas sastra perlu diberdayakan dan diperankan dalam upaya penanganan terhadap bahasa dan sastra daerah di setiap provinsi.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah, perlu digunakan sebagai acuan dalam penanganan bahasa dan sastra daerah serta dijabarkan ke dalam peraturan-peraturan daerah di setiap provinsi untuk mendukung upaya pemeliharaan, pelestarian, dan pengembangan bahasa serta sastra daerah.

Pemerintah daerah dan lembaga-lembaga terkait di daerah, perlu memberikan dukungan dan fasilitasi terhadap upaya-upaya pemeliharaan, pelestarian, dan pengembangan bahasa serta sastra daerah. Evaluasi Kantor Pusat Bahasa dan hasil penelitian para ahli bahasa, menunjukkan dari sebanyak lebih 740 bahasa daerah yang dikenal di Indonesia, praktis hanya sekitar 13 bahasa daerah saja yang masih dalam kondisi "aman", dengan penutur dan pengguna masih banyak serta memiliki aksara dan tata bahasa telah dibukukan atau didokumentasikan.

"Kami harapkan setiap Pemda yang memiliki bahasa daerah masing-masing dapat bertanggungjawab untuk mengembangkan dan melestarikan bahasa daerahnya, sehingga tidak sampai mengalami kepunahan," kata Kepala Bidang Pembinaan Pusat Bahasa, Drs Mustakim MHum.

Kantor Pusat Bahasa perlu memiliki siaran televisi tersendiri, untuk menjadi alat yang efektif dalam menyebarluaskan informasi terbaru dan komunikasi berkaitan pengembangan maupun penggunaan Bahasa Indonesia serta pelestarian bahasa daerah. Kebutuhan adanya siaran televisi tersendiri untuk kepentingan pengembangan dan pelestarian bahasa di Indonesia.

Kongres itu diikuti perwakilan dari beberapa provinsi Sumatera dan Indonesia wilayah barat, menghadirkan sejumlah ahli bahasa maupun peneliti bahasa daerah dari berbagai tempat di tanah air.
Kepala Bidang Pembinaan Pusat Bahasa, Drs Mustakim MHum membenarkan, upaya pengembangan Bahasa Indonesia dan pelestarian bahasa daerah yang terancam punah di tanah air itu, memerlukan dukungan media komunikasi dan informasi sehingga dapat menyebarluas secara efektif kepada masyarakat.

Selama ini, menurut dia, media massa dan para wartawan menjadi mitra utama Kantor Pusat Bahasa dalam menjalankan program kebahasaan, termasuk menyampaikan hal dan kebijakan maupun kosa kata baru hasil pengkajian mereka untuk disampaikan kepada masyarakat luas.

Televisi nasional dan lokal juga menjadi sarana cukup efektif, untuk menyampaikan perkembangan terbaru Bahasa Indonesia dan bahasa daerah itu.

Namun untuk dapat memiliki jam tayang secara lebih luas dan merata, terutama pada jaringan televisi nasional, memerlukan dukungan pembiayaan yang cukup besar.

"Kalau menggunakan media televisi lokal atau media lainnya sampai ke daerah-daerah, Pusat Bahasa masih memiliki kemampuan, tapi untuk menggunakan jaringan televisi nasional biayanya sangat besar," ujar Mustakim lagi.

Karena itu, Kantor Pusat Bahasa sebaiknya memang memiliki sendiri televisi siaran yang khusus untuk menyampaikan informasi tentang kebahasaan ke seluruh penjuru tanah air.

"Mudah-mudahan dalam waktu tidak lama lagi, Pusat Bahasa dapat memiliki televisi siaran bahasa tersendiri seperti yang diinginkan itu," demikian Mustakim yang mewakili Kepala Pusat Bahasa, Dr Dendy Sugono pula.

Source:
dwidjo utomo

http://kbi.gemari.or.id/beritadetail.php?id=4524

AKANKAH BAHASA IBU SEMAKIN PUNAH?

Sumber: Publikasi Harian Riau Pos, 23 Mei 2003
Oleh : Achmad Hidir

Asal-Mula Munculnya Bahasa.Asal mula munculnya bahasa dalam kehidupan manusia, sulitlah ditebak kapan waktunya dan bilamana hal itu muncul ?. Sampai saat ini masih teka-teki. Namun para ahli antropologi memiliki keyakinan munculnya bahasa sebagai lambang bunyi yang memiliki arti adalah ketika nenek moyang manusia harus meninggalkan pohon-pohonan dalam hutan ke alam terbuka di savana padang rumput. Dalam lingkungan yang baru ini nenek moyang manusia menghadapi bahaya yang lebih banyak, yang menuntut daya penyesuaian yang lebih dari mereka demi kelangsungan hidupnya. Konon ketika itu, kawanan kera yang berdiri tegak (pithe-chantropus erectus) itu sudah mulai hidup di tanah dan berkelompok sehingga memunculkan pembagian kerja di antara mereka. Selanjutnya diyakini oleh para antropolog, munculnya bahasa itu seiring dengan mulai beralihnya fungsi rahang dan taring ke arah semakin berfungsinya tangan untuk bekerja, selain itu berfungsinya tangan untuk bekerja mempengaruhi kemampuan otak (cerebrum dan neocortex) yang semakin membesar yang mampu merekam berbagai memori.Kemampuan merekam memori ini, karena kera yang berdiri tegak itu memiliki keuntungan anatomis yang tidak terdapat pada kera-kera lainnya. Keuntungan yang paling berhubungan langsung dengan kemampuan berbahasa di kemudian hari adalah bentuk rahang yang memungkinkan gerak bibir lebih leluasa, sehingga dengan mulut mereka dapat menimbulkan bunyi yang banyak variasinya. Demikian juga dengan kemampuannya untuk berdiri tegak dengan kaki, telah memungkinkan mereka untuk dapat melihat lebih jauh sehingga mereka dapat menangkap gejala-gejala bahaya dari suatu jarak tertentu. Selanjutnya kata-kata lisan pertama barangkali bertalian erat dengan suara-suara yang ke luar dari mulut mereka sebagai respon bila mereka melihat bahaya. Melalui peniruan yang mungkin mula-mula tak sengaja, tapi kemudian terus dikembangkan maka kemudian suara-suara itu mulai mengandung arti dan dipakai sebagai isyarat umum. Proses perkembangan dalam menjadikan suara tertentu sebagai simbol untuk benda-benda tertentu berjalan lambat. Namun sampai taraf tertentu kemudian perkembangannya mengalami percepatan yang luar biasa. Sama halnya dengan yang dialami oleh seorang anak kecil ketika belajar bicara, ketika ia menyadari bahwa segala sesuatunya itu mempunyai nama dan dapat diberi nama, maka kemampuan bahasanya akan meningkat dengan cepat.Kemampuan berbahasa ini selanjutnya amat memperbesar kemampuan kualitatif otak manusia purba. Secara genetis perkembangan ini tercermin dalam pertumbuhan neo-cortex (otak depan), yang menyebabkan ukuran otak menjadi lebih besar pada manusia-manusia yang lebih maju kemudian Kemampuan berbahasa ini mencerminkan pula kemajuan akan kemampuan manusia untuk mengembangkan budayanya, seni, teknologi, dan lebih daripada itu adalah sosialisasi.Dari sini kemudian kemajuan tehnologi dan kebudayaan semakin berkembang pesat sehingga meninggalkan taraf kema­juan mahluk lain yang ada. Sebagai dampak adanya satu kemampuan manusia akibat perkembangan bahasa yang ia miliki. 2. Variasi Bahasa dan Bahasa IbuProses persebaran bahasa sangat dipengaruhi dengan proses persebaran ras. Hal ini karena persebaran ras telah menyebabkan perbedaan bahasa karena adanya proses disvergensi yang dipengaruhi oleh alam lingkungan dan isolasi geografis.Bahwa kemudian manusia menggunakan bunyi-bunyi tertentu dan disusun dengan cara tertentu pula adalah secara kebetulan saja dan semuanya bersifat suka-suka (arbitrer). Dengan demikian maka terjadinyalah perbedaan antara bahasa satu dengan bahasa lainnya. Sebagai misal, bulan adalah bulan dan dari dulu bulan itu hanya ada satu di angkasa, tetapi kenapa kemudian manusia memberikan nama yang berbeda-beda untuk benda yang bernama “ bulan “. Sebagai contoh; orang Indonesia menyebutnya Bulan, orang Jawa menyebutnya Wulan, Orang Jepang menyebutnya Tsuki, orang Perancis La lune, orang Inggris The Moon, Orang Jerman Monat dan lain sebagainya. Pada hal obyeknya sama, yaitu sebuah benda planet. Proses arbitrer dan disvergensi inilah yang lambat laun memberikan andil variasi bahasa dan pembentukan bahasa daerah (suku atau bangsa) di kemudian hari.Indonesia tercatat sebagai negara kedua yang paling banyak memiliki bahasa ibu setelah Papua New Guinea. Secara total jumlah bahasa ibu di Indonesia ada 706 sedangkan untuk Papua New Guinea sejumlah 867 bahasa ibu. Dari 706 rumpun bahasa ibu yang ada di Indonesia separuhnya berada di Papua (Kompas, 13 Februari 2003). Hal ini wajar sebagaimana diungkap oleh A.F. Tucker (1987) bahwa di pedalaman Irian (Papua) memang banyak sekali variasi subsukunya. Sebagai contoh; untuk orang Sentani saja sukunya terbagi dalam tiga dialek bahasa, yaitu; bahasa Sentani barat, timur dan tengah. Orang Sentani Timur sering juga dikenal dengan orang Hedam. Demikian juga untuk orang Dani, terbagi dalam berbagai subsuku, ada Dani Baliem, Yamo, Toli, dan Sipak yang kesemuanya itu ternyata memiliki variasi bahasa. 3. Kearah Kepunahan Bahasa Ibu.Diyakini bahwa untuk bahasa-bahasa ibu beberapa tahun ke depan akan semakin punah dan hilang. Menurut data UNESCO setiap tahun ada sepuluh bahasa daerah yang punah. Pada akhir abad 21 ini diperkirakan laju kepunahan akan lebih cepat lagi. Menurut laporan Kompas 13 Februari 2003, diantara 6.000 bahasa yang ada di dunia, hanya akan ada 600-3000 bahasa saja lagi yang ada menjelang akhir abad 21 ini. Dari 6000 bahasa daerah itu, sekitar separuhnya adalah bahasa yang dengan jumlah penuturnya tidak sampai 10.000 orang. Pada hal salah satu syarat lestarinya bahasa adalah jika jumlah penuturnya mencapai 100.000 orang.Bukti-bukti akan adanya kepunahan bahasa ibu di Indonesia adalah dari jumlah 109 bahasa daerah yang ada, ternyata jumlah penuturnya sudah kurang dari 100.000 orang, misalnya bahasa Tondano (Sulawesi), Ogan (Sumsel), dan Buru (Maluku). Bahkan menurut laporan Kompas November 2002 lalu, melaporkan bahwa untuk jumlah penutur bahasa sunda di Bandung (bukan di Jawa Baratnya) jumlah penutur bahasa sunda menurun jumlahnya. Karena imbas urbanisasi dan banyaknya migrasi masuk multi etnik dan kontak dengan budaya lain. Selain juga ada kecenderungan baru di mana untuk kelas menengah baru sudah enggan menggunakan bahasa daerah yang terkesan kuno.Bagaimana dengan di Riau ?. Menurut UU Hamidy (1991) jumlah masyarakat terasing di Riau cukup banyak variasinya. Dan masih menurutnya bahwa untuk kasus masyarakat terasing di Indonesia cukup sulit untuk ditaksir, namun jika diperkirakan tahun 1987 ditaksir 1,2 juta jiwa dan setiap keluarga ditaksir ada 4 jiwa, maka diperkirakan jumlah mereka 240.000 KK. Kemudian lagi bila diperkirakan pertumbuhannya 1 % saja pertahun maka dalam tahun 1991 ditaksir akan berjumlah 1,5 juta jiwa (300.000 KK). Lalu bagaimana untuk keadaan tahun 2003 ?. Sejauh ini memang penulis belum memperoleh data untuk itu (mungkin saja datanya sudah ada). Namun bila mengacu pada teori antropologi, di mana dinyatakan bahwa dalam masyarakat yang cenderung nomad (selain juga karena kemiskinannya) seringkali pertumbuhannya menjadi terhambat dan kadangkala terbawa oleh genetical drift yang kurang menguntungkan sehingga lambat laun populasinya semakin mengecil untuk kemudian akhirnya punah. Contoh untuk kasus itu sudah ada, sebut saja misalnya; orang Ainu di Jepang, Aborigin di Australia atau orang Indian di Amerika yang hampir mendekati kepunahan.Oleh sebab itu di Indonesia, momentum peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional yang dicanangkan tanggal 21 Februari setiap tahunnya, untuk pertama kalinya turut diperingati berupa pertemuan nasional tanggal 19 Februari 2003 di Jakarta. Momen ini dianggap penting karena para ahli bahasa tampaknya sepakat bahwa bahasa daerah harus dilestarikan secara seimbang dengan bahasa nasional. Karena keberadaan bahasa daerah merupakan ciri jati diri bangsa dan suku yang ada di Indonesia. Selain muatan lokal dalam mata pelajaran yang perlu dikembangkan juga, perlu peran serta keluarga dalam mensosialisasikan pengenalan bahasa ibu dalam usia dini terhadap anak-anaknya.Diyakini pembekalan dua bahasa (bilingual) atau lebih (multilingual) terhadap anak sejak dini merupakan langkah strategis untuk membentuk pribadi yang toleran dan santun, selain menyelamatkan bahasa daerah dari ancaman kepunahan.

Ratapan dan Harapan Pelajaran Muatan Lokal Bahasa Biak di Resort Biak-Numfor

Posted on Desember 15, 2008 by pondokbahasa

AbstrakBahasa Biak (BB) adalah salah satu bahasa daerah(BD) yang pertama kali diteliti, ditulis dan diajarkansecara formal sebagai pelajaran muatan lokal (mulok)oleh para misionaris pada pendidikan dasar danmenengah di Resort Biak-Numfor Tanah Papua. OrangBiak selalu meratapi dan merindukan pelajaran mulokBB tersebut hingga saat ini. Oleh karena dimusnahkandan tidak diperbolehkan untuk diajarkan lagi olehpemerintah, karena konspirasi politik pada tahun 1963yang berlanjut sampai dengan Kurikulum Tingkat SatuanPendidikan (KTSP) yang kemungkinan dapat memberikanangin segar dan harapan hidup bagi BB dan BD tertentudi Tanah Papua.
BB ditentukan oleh Zending Belanda sebagai pelajaranmulok BD berdasarkan fakta historis, akademis,dan dasar hukum yang kuat. Sebab itu, diharapkankewenangan pemerintah Indonesia (gubernur, bupati/walikota) untuk segera membina dan mengembangkannyadengan mengintegrasikan tujuan dan filosofi mulok duludengan sekarang. Untuk itu, pemerintah daerah perlumenyiapkan buku-buku bahan pelajaran mulok BB,sekaligus melatih para pengajar BB/BD, serta bagaimanacara mengajarkan mulok dimaksud sesuai denganpanduan KTSP dan standar isi 2006, agar tercapai tujuanpendidikan nasional yang diharapkan di Indonesia.

1. Pembuka

Patut kita mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Baikkarena melalui Kongres IX Bahasa Indonesia bertaraf internasionaldalam rangka memperingati 100 Tahun Emas Kebangkitan Nasionaldan 80 Tahun Sumpah Pemuda serta 60 Tahun Umur Pusat Bahasa(dirgahayu), panitia kongres masih menyelipkan sebuah topik tentang“Pemilihan Bahasa Daerah sebagai Muatan Lokal dalam PendidikanFormal” yang melahirkan formulasi judul makalah ini. Sebab itu,melalui kongres akbar ini perlu diberikan apresiasi dan acungan jempolyang tinggi bagi Kepala Pusat Bahasa dan seluruh stafnya, karena tidakhanya menggencarkan bahasa nasional NKRI agar digunakan denganbaik dan benar oleh rakyat Indonesia di seluruh pelosok Nusantara(Sabang-Merauke). Akan tetapi, Pusat Bahasa juga terus-menerusmendorong perlunya pembinaan dan pengembangan BD sebagaifondasi bagi bahasa Indonesia (BI) yang ikut membentuk insanIndonesia yang cerdas kompetitif dan sebagai bahasa pengantar, mulaidari jenjang pendidikan dasar dan menengah agar tidak terjadikepunahan berbagai BD, gudang keanekaragaman etnosains danbudaya bangsa Indonesia.
Atas usaha Pusat Bahasa dan ratapan masyarakat adat dikampung-kampung yang begitu keras terhadap pemerintah dan para elitIndonesia, baru menyadari dosanya dan saat ini kembali berpikir untukmenegakkan panji dan jiwa kebinekatunggalikaan Pancasila melaluipelajaran mulok KTSP berstandar isi 2006. Rupanya ratapan dan isaktangisitu pun mengagetkan Depdiknas dari tidurnya dan barumenyadari bahwa politik dominasi budaya selama ini telah mematikankeanekaragaman budaya Indonesia yang lain, melalui berbagai media,buku pelajaran, maupun bentuk konspirasi lainnya. Perlu disadaribahwa dominasi budaya tersebut kurang memberikan akses bagiberbagai BD di Indonesia, termasuk keanekaragaman BD di TanahPapua untuk dibina dan dikembangkan sebagai bahan pelajaran mulokbagi para peserta didik di lingkungannya. Sebab itu, tak salah jualahorang Papua mengumpetkan “Sia-sialah upaya bangsa Indonesia dalampembinaan dan pengembangan keanekaragaman BD di Tanah Papua,sejak orang Papua berada dalam pangkuan NKRI tahun 1963 hinggasaat ini, jika dibandingkan dengan zaman zending dulu.”

Sesungguhnya pelajaran mulok dalam KTSP yang saat inidigiatkan dan diajarkan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah diIndonesia, bukanlah suatu hal yang baru di Tanah Papua (New Guineadulu) sebagaimana pelajaran bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan bahasaBali yang diajarkan pada pendidikan dasar dan menengah sejak duluhingga saat ini. Khusus untuk Tanah Papua, bahan pelajaran mulokyang mirip dengan KTSP saat ini, pernah dibuat oleh Domine F. J. F.van Hasselt, I.S. Kijne, serta para misionaris lainnya yang bergabungdalam Yayasan Pekabaran Injil Zending Belanda. Mereka meneliti danmenulis buku pelajaran mulok, serta melatih para guru pribumi, sertaguru bantuan dari Ambon dan Sanger untuk mengajarkan mulokberbasis budaya dan lingkungan alam Papua sejak tahun 1940-ansampai dengan tahun 1962.

Akan tetapi, sejak Tanah Papua dianeksasi ke pangkuan NKRIsemua buku pelajaran bahasa dan sastera daerah (pelajaran muatanlokal) tersebut dibeslak dan dibakar secara masal oleh para petugaspemerintah Indonesia pada tahun 1963 dan selanjutnya tidak diperbolehkanuntuk dipakai atau disimpan oleh siapa pun. Oleh karenabuku-buku pelajaran mulok bahasa Melayu (BM), bahasa Biak (BB),dan bahasa Belanda (BBl) tersebut dipolitisir atau dianggap berbauhpolitik (Rumbrawer, 2000, 2001, 2007; Alwi, dkk. (Ed), 2000).

Tindakan seperti ini bertentangan dengan Pancasila dan penjelasanpasal 36 dalam UUD 1945 yang mennyatakan bahwa “Di daerah-daerahyang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya denganbaik-baik (misalnya: bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan sebagainya),bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara.Bahasa-bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesiayang hidup.

Orang Papua menganggap tindakan tak manusiawai ini sebagaisalah satu kesalahan besar yang pernah dilakukan para petugaspemerintah saat itu. Hal ini bertentangan dengan Pancasila danpenjelasan Pasal 36 UUD 1945. Sebab, jika kita pelajari aneka bukupelajaran mulok tersebut, tak ada satu pun mengandung politik, tetapibuku-buku yang disusun secara tematis oleh para misionaris tersebut,disesuaikan dengan lingkungan para murid agar mereka belajar tentanglingkungan budaya, lingkungan alam, dan kearifan lokal seperti,etnolinguistik, etnomatematik, etnobiologi (etnobotani, etnozoologi,etnohuman, etnoekologi, etnokonservasi), dan etnosains lainnya, sesuaidengan tema-tema pokok yang ditentukan dalam kurikulum dan silabuspendidikan dasar dan menengah saat itu. Sehingga para muridmempunyai pengetahuan dasar untuk menghormati Tuhan, mengasihisesama, dan menjaga seluruh alam ciptaan-Nya, sekaligus melestarikanbahasa dan budayanya secara berkelanjutan.

Sesuai dengan arahan tema, topik, dan judul yang diformulasidari topik dan kerangka yang sengaja diberikan Panitia Kongres IXBahasa Indonesia bertaraf internasional ini, maka makalah ini diberikanjudul “Ratapan dan Harapan Pelajaran Muatan Lokal (Mulok) BahasaBiak di Resort Biak-Numfor. Dengan demikian pendahuluan makalahini mengemukakan latar dan masalah mengapa BB perlu diangkatmenjadi pelajaran mulok; selanjutnya membicarakan dasar (historis,akademik, dan dasar hukum) pemilihan mulok BB; tujuan dan filosofipemilihannya; bahan mulok; para pengajar (guru); serta bagaimanamengajar BB; dan diakhiri dengan simpulan dan saran.

2. Dasar Pemilihan Mulok Bahasa Biak

Alasan dasar yang menentukan BB dipilih menjadi pelajaranmulok, pada pendidikan formal jenjang pendidikan dasar danmenengah di Resort Biak-Numfor pada zaman zending, berdasarkantiga alasan penting, yaitu: dasar historis, akademis, dan dasar hukumsebagai berikut.

2.1 Dasar Historis

Berdasarkan ulasan historis yang termuat dalam catatan etnografipara zendeling Jerman-Belanda, dan para petugas kolonial tempo dulubahwa etnik Biak (orang Biak) adalah satu-satunya etnik di NewGuinea (Tanah Papua) yang telah lama berkomunikasi dengan bahasaMelayu, masyarakatnya monolingual, dan relatif maju, jika dibandingkandengan saudara-saudara etnik Papua lainnya. Orang Biak majudalam etnomatematik, etnobiologi, etnofalak (astronomi) dan maju puladalam dunia kemaritiman dan perdagangan tempo dulu. Orang Biakgemar berkelana dan selain menggunakan BB, BM diandalkan pulasebagai alat komunikasi. Hal ini memudahkan orang Biak dapatmencapai dan menduduki sejumlah daerah yang amat jauh, didukungarmada-armada bercadik yang lengkap dengan pasukan ampibinya.Bahasa Melayu telah lama digunakan dalam pelayaran perang,perdagangan, dan pembayaran upeti kepada Kerajaan Majapahitmelalui Kesultanan Tidore. Sehingga, bahasa Biak pun tersebar luasdan melinguafranca mengikuti lokasi pemukiman yang ditempati orangBiak, baik di beberapa tempat di kawasan Nusantara maupun melintasbatas ke luar negeri. Sebagai bukti tentang daerah/wilayah yangdidiami orang Biak , antara lain:
(a) Luar Negeri, orang-orang Biak yang berada di pulau Palau –sebuah negara kecil di Pasifik; beberapa perkampungan diSamarai Papua New Guinea (PNG); referensi lain mengisahkanbahwa orang Biak pernah sampai di Madagaskar. Hal inidiperkuat juga oleh riset arheologi di Solo Jawa Tengah yangmembuat pernyataan ilmiah bahwa fosil manusia purba yangdijumpai di pulau Jawa yang dikenal dengan nama soloensis ituadalah fosil orang hitam (orang Papua/mungkin orang Biak) yangpertama kali pernah mendiami Tanah Jawa pada zaman purbadulu sebelum orang-orang Asia memasuki kawasan Nusantara.
(b) Dalam wilayah NKRI: komunitas orang Biak dapat dijumpai disejumlah perkampungan besar, antara lain mulai dari: ProvinsiMaluku Utara (Tobelo); Provinsi Papua Barat (Kabupaten RajaAmpat, Kabupaten Sorong, Kabupaten Manokwari, danKabupaten Teluk Wondama); Selanjutnya di Provinsi Papua(Kabupaten Biak-Numfor; Kabupaten Supiori; pesisir utara pulauYapen Kabupaten Yapen Waropen; Kabupaten Nabire; KepulauanKumamba Kabupaten Sarmi; Kabupaten MamberamoRaya; dan Abepantai Kotamadya Jayapura (Mampioper, 1976;1986).

2.2 Dasar Akademik

Berdasarkan pengelompokan bahasa-bahasa daerah di Indonesia,khususnya keanekaragaman bahasa daerah di Tanah Papua telahdiklasifikasikan atas dua bagian besar, yaitu rumpun bahasa Papua(non-Austronesia) dan rumpun Austronesia.BB termasuk rumpun bahasa Austronesia, dan strukturbahasanya secara akademik mudah dipelajari, baik fonologi, morfologi,sintaksis, dan wacananya pun mudah dipelajari. Sehingga Domine F. J.F. van Hasselt dan I.S. Kijne menjadikannya sebagai pelajaran mulokbahasa daerah (BD) yang resmi diajarkan di sekolah formal yangdidirikan oleh Zending Belanda di Resort Biak-Numfor. Pemilihan inijuga didasarkan atas kemonolingualan masyarakat Biak. Sedangkansekolah-sekolah formal yang lain di Tanah Papua, muloknyadiintegralkan dalam pelajaran bahasa Melayu dan bahasa Belanda,karena masyarakatnya multilingual.

Sebab itu, pelajaran mulok di Tanah Papua dibagi oleh paramisionaris atas tiga bagian, yaitu pelajaran: (1) mulok bahasa daerahBiak diajarkan di Resort Biak-Numfor; (2) ada mulok yangdiintegralkan dalam bahasa Melayu; dan hal ini juga berlaku dalamBahasa Belanda, sesuai dengan perkembangan umur anak dan tingkatsatuan pendidikan berbasis budaya orang Papua dan lingkungan paramurid saat itu.

Barangkali dasar seperti inilah yang menguatkan bahasa dansastera Biak ditetapkan para misionaris Zending Belanda sebagaipelajaran mulok, yang dapat diajarkan secara resmi pada sekolahformal, yakni pendidikan dasar dan menengah di Resort Biak-Numfor(Kabupaten Biak-Numfor dan Kabupaten baru Supiori sekarang ini)berdampingan dengan pelajaran bahasa Melayu, bahasa Belanda, danmata pelajaran lainnya.

2.3 Dasar Hukum

• Undang-Undang Dasar RI 1945 pada penjelasan pasal 36,menandaskan bahwa ”Di daerah-daerah yang mempunyai bahasasendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik (misalnyabahasa Jawa, Sunda, Madura, dan sebagainya) bahasa-bahasa ituakan dihormati dan dipelihara juga oleh negara. Bahasa-bahasa itupun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup;
• Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989, Pasal 42, Ayat (1)mengemukakan juga bahwa bahasa daerah dapat digunakansebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan dan sejauhdiperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan atau keterampilantertentu;
• Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang PemerintahanDaerah;
• Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, mengatur pembagiankewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,mengemukakan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa dansastera daerah termasuk ke dalam kewenangan Pemerintah Daerah(Provinsi, Kabupaten/Kota (Alwi, 2000 : 1– 2);
• Sambutan Menteri Pendidikan Nasional pada pembukaanKonferensi Bahasa Daerah Nasional II, 6–8 November 2000mengemukakan bahwa “Kehidupan bahasa dan sastera daerahyang dijamin UUD 1945 selama dipelihara pemakainya di dalamkerangka Otonomi Daerah akan memperoleh peluang yang lebihterbuka untuk dikelolah dengan lebih baik, asal Pemerintah Daerah(Pemda) yang bersangkutan memiliki perhatian yang besar. Untukitu Mendiknas mengharapkan agar setiap Asisten III bidang Kesrayang mewakili Pemda pada Kongres Bahasa Daerah II harusmemberikan perhatian dan sumbangan yang besar dan terencanabagi masyarakat pencinta dan pendukung bahasa dan sasteradaerah dengan memasukkan program pembinaan dan pengembanganbahasa dan sastera daerah dalam program Pemda dengansungguh-sungguh” (Muhaimin, 2000:1). Hasil Kongres BahasaDaerah Naional II di Jakarta, 6 – 8 November 2000 itumerumuskan dan merekomendasikan tentang pemasyarakatan danpembinaan bahasa dan sastera daerah di Indonesia sesuaikebutuhan daerah otonomi masing-masing;
• Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2001 tentang OtonomiKhusus bagi Provinsi Papua, Pasal 58, Ayat (1) menyatakan bahwaPemerintah Provinsi berkewajiban membina, mengembangkan,dan melestarikan keragaman bahasa dan sastera daerah untukmempertahankan jati diri orang Papua; dan pada pasal (3)menyatakan pula bahwa bahasa daerah dapat digunakan sebagaibahasa pengantar di jenjang pendidikan dasar sesuai dengankebutuhan;
• Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang SistemPendidikan Nasional Pasal 37 Ayat (1) dan Pasal 38 Ayat (2);
• Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang StandarNasional Pendidikan yang mencakup (1) kerangka dasar danstruktur kurikulum yang menjadi pedoman penyusunan KTSP; (2)beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan dasar danmenengah; (3) KTSP yang akan dikembangkan oleh satuan pendidikanberdasarkan panduan penyusunan kurikulum sebagai bagiantidak terpisahkan dari standar isi; dan (4) kalender pendidikan yangdikeluarkan dinas pendidikan setempat (Direktorat PembinaanSekolah Menengah Depdikans, 2008 : 3 – 4).

Mengacu pada sejumlah dasar hukum yang dikemukakan di atasmaka masalah pembinaan dan pengembangan bahasa dan sasteradaerah Biak (sastera lisan) menjadi kewenangan dan tanggung jawabPemerintah Daerah Kabupaten Biak-Numfor maupun PemerintahDaerah Provinsi Papua. Namun demikian selama ini Pemda Biak-Numfor maupun Pemda Supiori belum serius melaksanakan tugaspembinaan dan pengembangan BB hingga saat ini.

3. Tujuan dan Filosofi Mulok Bahasa Biak

Tujuan utama Zending Belanda membuat penelitian danpenulisan bahan pelajaran mulok bahasa daerah (BB, BM, BBl),membaca, menulis dan berhitung permulaan (matematika dasar),pertanian, pertukangan, kesehatan, serta ilmu pengetahuan lainnyauntuk pembentukan ahlak dan pengetahuan kognitif, afektif danpsikomotor anak-anak Papua agar segera menerima peradaban baru.

Oleh karena itu, tujuan Zending melaksanakan pelajaran mulok diTanah Papua tempo dulu adalah agar: mempercepat terserapnya visimisipenginjilan (pembangunan semesta) untuk mengubah tabiat dantingkah laku manusia Papua yang saat itu masih berada dalam zamankegelapan. Hidup dalam permusuhan, peperangan, pengayauan, danbentuk-bentuk kekafiran lainnya, supaya memasuki budaya danperadaban baru, yang penuh damai sejahtera, saling mengasihi danbekerja sama di segala bidang pembangunan.

Meskipun pekerjaan para misionaris itu mahaberat di TanahPapua tempo dulu, namun visi-misi penginjilan yang menjadi tujuanmaupun prioritas kerja utamanya adalah:(1) menyelenggarakan pendidikan dasar di seluruh Tanah Papua.Sekolah Dasar Kristen pertama berbahasa daerah (Numfor-Biak)dan bahasa Melayu dibuka di pulau Mansinam Manokwari tahun1856 oleh Ottow dan Geissler –dua orang pemuda berkebangsaanJerman yang menjadi rasul pertama bagi orang Papua– (Ottow,1962). Setelah Mansinam Manokwari, misi pekabaran Injil beralihke daerah Resort Biak-Numfor dan masuk di Maudori Supiori olehF.J.F. van Hasselt dan guru Petrus Kafiar, 26 April 1908 makaterjadilah pembukaan sekolah dasar berbahasa Biak secara masaldi tiap kampung di Resort Kepulauan Biak-Numfor;(2) membuat kurikulum berbasis lingkungan budaya lokal danlingkungan murid setempat, menyusun silabus bahan pelajaranmulok berbahasa Biak, bahasa Melayu, dan bahasa Belanda yangdigunakan pada pendidikan dasar dan menengah (sekolah rakyatsejenis SD, SMP, SPGJ berasrama) di beberapa wilayah tertentusebagai pusat pendidikan, agar memudahkan para murid memasukisekolah peradaban tersebut (Kamma, 1994 : 163).(3)Falsafah dasar bagi para misionaris untuk bertekad dalampembinaan dan pengembangan BD sebagai kiat pembangunan semestadi Tanah Papua, secara jelas dicatat atau diabadikan dalam 5 buahpernyataan berikut, bahwa:
(a) bahasa daerah di Tanah Papua adalah kunci/pintu masuk ke dalamaneka relung hidup adat, kebersahajaan, tingkah laku, dan baikburuknyahati orang Papua;
(b) mengajar dengan bahasa ibu anak-anak setempat, akan membukadan meningkatkan pengetahuan anak yang telah tersedia secaralokal untuk menampung dan menerima ilmu pengetahuan asing(modern) dengan harmoni, serasi dan selaras dengan budaya paramurid, sehingga tidak terjadi penolakan (diskualifikasi);
(c) mengajar dengan bahasa daerah para murid, akan mengawetkan danmeningkatkan rasa kebanggaan dan harga diri anak untukmenghadapi budaya asing atau modern;
(d) mengajar dan belajar dengan BB akan mengabadikan berbagaimacam kearifan lokal (etnosains) penentu hidup para murid masadepan, berarti ikut melestarikan budaya bangsa sampai ke anak cucuturun-temurun;
(e) bahasa ibu (bahasa daerah) adalah grace (anugerah Tuhan). Sebabitu, jikalau: berhotbah, mengajar, berpidato, ataupun menyampaikanpesan Injil dan pesan pemerintah (pembangunan) dengan bahasamasyarakat setempat, akan membuka dan memuluskan jalan Injildalam berbagai aspek pembangunan dengan mudah sehingga segeratercapai cita-cita nasional sebuah bangsa (van Hasselt, 1919). Atasdasar pikiran mulia dan sejumlah tujuan praktis tersebut di atas, BBsebagai BD pertama yang diperjuangkan dan digunakan oleh paramisionaris, antara lain: F.J.F. van Hasselt, Petrus Kafiar, WillemRumainum, dan selanjutnya diteruskan oleh Domine I.S. Kijnesebagai sebuah proyek perintis pertama penggunaan BD (bahasaibu) sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar dan mengajar(PBM) dan pelajaran mulok bagi anak-anak sekolah dan jemaatjemaatpertama di Resort Kepulauan Biak-Numfor Tanah Papuatempo dulu.

Alhasilnya, dalam waktu yang relatif singkat, orang Biak majupesat dalam pendidikan dan bidang lainnya. Sebagian besar orang Biakmenjadi pegawai dan menduduki berbagai jabatan, baik jabatantertinggi di gereja maupun pemerintah. “Salah satu bukti historiskeberhasilan para misionaris dalam menggunakan BB sebagai pelajaranmulok dan bahasa pengantar di sekolah pada pertengahan abad ke-20 –awal abad ke-21 dapat kita saksikan banyak anak Tuhan dari wilayahini telah berhasil menamatkan pendidikan di berbagai jenjang (SekolahDasar – Perguruan Tinggi) dan menduduki berbagai jabatan pentingseperti: pendeta, guru, dosen, dokter, kepala distrik, rektor, jenderal,gubernur-wakil gubernur, anggota legislatif, walikota, bupati-wakilbupati, duta besar, dll.” (Mansoben, dkk, 2008 : 174).

4. Bahan Mulok Bahasa Biak

Sebagaimana telah disinggung di depan bahwa bahan-bahanyang dijadikan materi pelajaran mulok dalam BB, BM maupun BBl diTanah Papua tempo dulu ditulis oleh para misionaris setelah merekamelaksanakan proyek penelitian, penulisan dan penerbitan bukupelajaran mulok. Hal ini dilakukan dengan maksud agar materi ataubahan pelajaran mulok tersebut memudahkan PBM bagi para muridmaupun para pengajar (guru) pada saat itu. Para misionaris menyadarihal ini sebuah kiat untuk mempertahankan jati diri orang Papua di tanahyang amat kaya BD. Para misionaris tersebut, terutama F.J.S. vanHaselt dan I.S. Kijne mempelajari beberapa etnik yang mendiamiPapua bagian utara, dengan maksud agar kebudayaan dan lingkunganhidup masyarakat itu dijadikan bahan pelajaran mulok bagi para muriddengan tujuan mempertahankan jati diri, dan terus melestarikankearifan lokal yang tersimpan dalam keanekaragaman bahasa danbudaya orang Papua. Untuk itu, kebudayaan inti (culture core) orangPapua disarikan menjadi bahan pelajaran mulok bagi para murid(peserta didik) pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di seluruhTanah Papua dengan pendekatan tematik. Jika mencermati aneka bahanpelajaran mulok dimaksud, maka kita temui tema-tema sebagai berikut:(1) tema lingkungan dalam pelajaran mulok BB, BM, maupun BBladalah: lingkungan keluarga, dan lingkungan rumah; (2) lingkunganalam: menjaga tanah, air, tumbuhan, binatang, dan bekerja di ladang(menanam & panen) secara bertahap dan berkesinambungan; (3) hobiatau kesenangan kerja (berladang, memelihara ternak), danketerampilan lainnya; (4) Sifat tolong-menolong; (5) kesehatan(memelihara kesehatan dan gizi); serta (6) tema kerja atau keterampilanhidup lainnya.

Beberapa dokumen atau bahan referensi pelajaran mulok BByang pernah ditulis oleh para misionaris terutama: Ottow (1862), vanHasselt J.L. (1868, 1876); Kern (1885), van Hasselt F.J.F. (1902, 1905,1936, 1947). Tulisan-tulisan tersebut, memuat catatan-catatan tentangBB, baik kosa kata maupun struktur. Bahan-bahan pelajaran khususyang terkait dengan muatan lokal BB, antara lain disusun oleh F.J.F.van Hasselt (1908) tentang Buku Bacaan Cerita Rakyat (Tall, Land,end Volkenkunde); I.S. Kijne (1950) tentang Surat Wasya (BukuBacaan Bahasa Biak jilid I, II dan III), Kafkofen ma Kakaik (PantunBalas-balasan dan Peribahasa); Kokor ma Kowasya (Membaca danBerhitung). Buku pelajaran mulok BB tersebut diselesaikan di SD kelasI – III berbarengan dengan BM dan dilanjutkan dengan BBl/BE di kelasIV – kelas VI dst.

Judul-judul buku pelajaran yang masih berkesan hingga saat ini,antara lain: Itu Dia jilid I–III, Kota Emas, Cenderawasih (ParadiseVogel), yang dikarang oleh Domine I.S. Kijne; Madjulah (Het Begin)oleh N.E. Bocve, dkk. Selain buku pelajaran tersebut di atas terdapatpula buku nyanyain muda-mudi, karya Domine I.S. Kijne yang sangatterkenal ialah Seruling Mas dan buku nyanyian khusus untuk anak-anakSekolah Minggu/SD yaitu Suara Gembira yang seluruh isinyamengagungkan Tuhan pencipta keindahan alam, kekayaan alam, dankeanekaragaman suku bangsa dan bahasa, serta para Mambri (pahlawanlegendaris) di Tanah Papua tempo dulu.

Sejumlah dokumentasi dan publikasi penting yang perlu jugadisinggung, antara lain: Kamus Bahasa Biak oleh Soeparno 1976;Namber in Biak oleh Hein Stein Hawer (1985); Fonologi Bahasa Biak1989, Morfologi Bahasa Biak 1991, Sintaksis Bahasa Biak 1994 danTata Bahasa Biak 2003; oleh Christ Fautngil & Frans Rumbrawer;serta Kamus Bahasa Biak A – K 1996; Kamus Bahasa Biak L – Z 1997oleh Frans Rumbrawer & Christ Fautngil. Selain hasil-hasil risettersebut, ada pula sejumlah penelitian dan tulisan yang sifatnyaterpisah-pisah untuk berbagai keperluan antara lain: skripsi danmakalah yang ditulis para mahasiswa dan dosen Jurusan PendidikanBahasa dan Seni (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris) FakultasKeguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Negeri Cenderawasih.Ada juga bahan-bahan berbahasa Biak yang dipakai untukkeperluan khusus seperti buku nyanyian rohani, liturgi, Alkitab, bukunyanyian untuk keperluan praktis lainnya, dapat disebutkan di siniantara lain: GKI 1969, Mazmur ma Dow; Kapissa 1975, Songger veRok; LAI 1900, Alkitab Perjanjian Baru Berbahasa Biak; MuharamSyah 1975, Wawos ro Rasras; Depdikbud Propinsi Irian Jaya 1963,Ungkapan Tradisional Bahasa Biak dan Bahasa Tehit Daerah IrianJaya; RRI Biak 1980-an, Kabar ro Wos Biak; Sam Kapissa 1994,Eksistensi Wor Biak dan Upaya Pelestariannya; dan sejumlah tulisanlain tentang kebudayaan Biak yang relevan bagi pelajaran mulok BB,yang tidak disebutkan semuanya di sini.

5. Pengajar Bahasa Biak

Jika mencontohi strategi yang dilakukan para misionaris dalampenyiapan tenaga pengajar bagi pelajaran mulok bahasa dan sasteraBiak pada zaman lampau, maka perlu merencanakan kegiatan praktisdan tepat guna terutama guru kelas dan guru bantu yang direkrutkhusus dari masyarakat (para pemuda gereja atau jemaat) setelah paramisionaris menyiapkan kurikulum, silabus, dan bahan pelajaran dalambuku pelajaran khusus BB dan buku mulok BM dan BBl.

Rekruitmen yang paling cepat dan tepat dalam mengajarpelajaran mulok BB dan BM adalah tenaga muda orang asli Biak yangterseleksi dengan baik tentang moral, ketersediaan hati-nurani, iman,cukup ilmu dan dapat memahami pelayanan masyarakat di bidangpendidikan tanpa biaya yang mahal. Dengan modal dasar seperti contohyang disebutkan di atas dan jika dikaitkan dengan program pendidikanguru SD (PGSD dan lainnya) yang kini digalakkan secara besarbesaranoleh pemerintah di Indonesia, terkait dengan pencananganmuatan lokal dalam KTSP-Standar Isi 2006 saat ini, maka tidaklah sulituntuk memperoleh guru mulok bahasa Biak pada pendidikan dasar danmenengah di Kabupaten Biak-Numfor, tetapi juga kabupaten lainnya di
Tanah Papua. Asal pemerintah daerah mempunyai komitmen kerjayang jelas dan sungguh dalam perencanaan, pelaksanaan, pengevaluasiandan pengalokasian biaya yang jelas dan memadai dalam APBD.

6. Bagaimana Mengajar Bahasa Biak

Kalau kita ingin belajar tentang bagaimana proses dan carapraktis para misionaris menyiapkan (meneliti/menulis) dan mengajarkanpelajaran mulok BB tempo lalu, sebagaimana disebutkan di mukamaka tidaklah sulit dalam hal mengajarkan BB dan BD lainnya diTanah Papua saat ini. Hal yang pertama harus disiapkan adalah:membuat silabus yang sesuai dengan KTSP sebagai pedoman nasionaldalam penyusunan maupun mengajarkan bahan pelajaran mulokBD/BB di setiap satuan pendidikan sesuai dengan lingkungan parapeserta didik, kekhususan daerah, kebutuhan masyarakat, serta keunikanbudaya yang berprospek ekonomi bagi peserta didik dikemudian hari atau untuk kemaslahatan seluruh umat manusia.

Oleh karena itu, bagaimana guru mengajarkan pelajaran mulokbahasa Biak tidak jauh berbeda dengan cara, metode, maupun teknikmengajarkan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris maupun matapelajaran terkait lainnya. Sebetulnya metode atau teknik mengajarkanbahasa nasional maupun bahasa asing dapat digunakan untukmengajarkan mulok bahasa Biak. Hanya saja semuanya ini berpulangpada nurani yang baik, dan kesungguhan kerja dari Pemerintah RI,(Depdiknas, Pusat Bahasa); Gubernur (Dinas Pendidikan Provinsi),Bupati (Dinas Pendidikan Kabupaten); Komite Sekolah dan komponenterkait serta para guru yang harus bekerja keras dalam menyiapkansilabus bahan pelajaran dan mengajarkan pelajaran mulok BB dengankreativitas yang tinggi sebagaimana guru sejati yang diharapkan Tuhan,masyarakat, bangsa, dalam wadah NKRI.

7. Penutup

7.1 Simpulan

Bahasa Biak (BB) adalah salah satu bahasa daerah (BD) yangpertama kali diteliti, ditulis dan diajarkan secara formal sebagaipelajaran muatan lokal (mulok) oleh para misionaris pada pendidikandasar dan menengah di Resort Biak-Numfor Tanah Papua. Orang Biakselalu meratapi dan merindukan pelajaran mulok BB tersebut hinggasaat ini. Oleh karena dimusnahkan dan tidak diperbolehkan untukdiajarkan lagi oleh pemerintah, karena konspirasi politik pada tahun1963 yang berlanjut sampai dengan Kurikulum Tingkat SatuanPendidikan (KTSP) yang kemungkinan dapat memberikan angin segardan harapan hidup bagi BB dan BD tertentu di Tanah Papua.

BB ditentukan oleh Zending Belanda sebagai pelajaran mulokBD berdasarkan fakta historis, akademis, dan dasar hukum yang kuat.Sebab itu, diharapkan kewenangan pemerintah Indonesia (gubernur,bupati/walikota) untuk segera membina dan mengembangkannyadengan mengintegrasikan tujuan dan filosofi mulok dulu dengansekarang. Untuk itu, pemerintah daerah perlu menyiapkan buku-bukubahan pelajaran mulok BB, sekaligus melatih para pengajar BB/BD,serta bagaimana cara mengajarkan mulok dimaksud sesuai denganpanduan KTSP dan standar isi 2006, agar tercapai tujuan pendidikannasional yang diharapkan di Indonesia.

7.2 Rekomendasi

Saran yang perlu diperhatikan pemerintah (Departeman PendidikanNasional, termasuk Pusat Bahasa) terkait dengan pemberdayaanpelajaran mulok BD demi kelestarian keanekaragaman BD danbudaya bangsa Indonesia, maka perlu melaksanakan rekomendasiberikut:
(1) Pemerintah/DPR RI mengamandemen UUD RI Tahun 1945 Pasal36, menjadi dua ayat, yakni: Ayat (1) Bahasa Negara ialah bahasaIndonesia; Ayat (2) Keanekaragaman bahasa daerah dibina dandikembangkan sebagai aset pemasok kosakata bahasa nasionalIndonesia.
(2) Pemerintah daerah (pemda) segera menyusun peraturan daerahtentang pembinaan dan pengembangan bahasa daerah masingmasingsesuai kebutuhan daerah demi kelestarian bahasa, budayadan kearifan lokal.
(3) Pemda meng-APBD-kan penelitian, penulisan, dan penerbitanbuku bahan pelajaran mulok BD bagi kebutuhan pendidikan dasardan menengah di kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan masingmasingdaerah;
(4) Pemda (Dinas Pendidikan dan dinas terkait) bekerja sama denganKomite Sekolah, guru-guru, para ahli di perguruan tinggi, maupunlembaga pemerintah dan swasta untuk menyusun bahan pelajaranmulok BD sesuai KTSP dan standar isi;
(5) Khususnya Pemda Provinsi Papua dan atau Pemda Biak-Numfordiharapkan menghidupkan kembali bahan pelajaran mulok bahasaBiak sesuai dengan kerangka dasar dan struktur kurikulum yangmenjadi pedoman penyusunan KTSP dan standar isi 2006;
(6) Pemda Biak-Numfor dan dinas terkait diharapkan kreativitasnyadalam ihwal penyiapan guru (pengajar) maupun metodepengajaran mulok BB pada pendidikan dasar dan menengah diKabupaten Biak-Numfor.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, dkk. (Ed). 2000. Bahasa Indonesia dalam EraGlobalisasi. Jakarta: Pusat Bahasa.Bocve, N.E., dkk. 1958. Het Begin Taalboek II. J.B. WoltersGroningen.Depdikbud. 1986. Ungkapan Tradisional Bahasa Biak-Numfor danTehit Daerah Irian Jaya. Jayapura: Kanwil Propinsi Papua.Depdiknas. 2006. Kumpulan Permendiknas tentang Standar NasionalPendidikan dan Panduan KTSP. Jakarta: Dirjen ManajemenPendidikan Dasar dan Menengah.

Fautngil, Christ dan Frans Rumbrawer. 1988. Fonologi Bahasa Biak.Laporan Penelitian. Jayapura: Proyek Penelitian Bhasa danSastera Indonesia dan Derah Pusat Pembinaan danPengembangan Bahasa, Kanwil Depdikbud Prpinsi Irian Jaya.

Fautngil, Christ dan Frans Rumbrawer. 1991. Morfologi Bahasa Biak.Laporan Penelitian. Jayapura: Proyek Penelitian Bhasa danSastera Indonesia dan Derah Pusat Pembinaan danPengembangan Bahasa, Kanwil Depdikbud Propinsi IrianJaya..

Fautngil, Christ dan Frans Rumbrawer. 1994. Sintaksis Bahasa Biak.Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Fautngil, Christ dan Frans Rumbrawer. 2003. Tata Bahasa Biak.Jakarta: Yayasan Servas Mario.

Hasselt, F.J.F. van 1908. Bijdragen tot de Taal, Land, En Volkenkundevan Nederlandsch Indie s’-Gravenhage: Martinus Nijhoff.Hasselt, J.L. van 1868. Allereerste Beginselen der Papoesch-Mafoorsche tall. Utrecht.

Hasselt, J.L. van 1876. Beknopte Spraakkunst der Noemforsch tall.Utrecht.

Hasselt, J.L. van. 1876/1873. Hollandsch Noemforsch en Noemforsch-Hollandsch Woordenboek. Utrecht.

Hasselt, J.L. van and F.J.F. van Hasselt. 1947. NoemforschWoordenboek. Amsterdam: de Bussy.

Kamma, F.C. 1994. Ajaib di Mata Kita. Jilid III. Masalah Komunikasiantar Timur Barat Dilihat dari Sudut Pengalaman SelamaSeabad Pekabaran Injil di Irian Jaya. Jakarta: BPK GunungMulia.


Kapissa, Sam. 1975. Songger be Rok. Jayapura: Group Manyouri

Kapissa, Sam. 1994. Eksistensi Wor Biak dan Upaya Pelestariannya.Jayapura: Jurusan Antropologi FISIP Uncen.

Kern, H.1885. Over de Verhouding van het Noemforsch tot de Maleis-Polynesische talen. Verspreide Geschriften.

Kijne, Izaak Samuel. 1950. Surat Wasja I & II, Kitab Batjaan BahasaBiak. Djakarta: J.B. Wolters Groningen.

Kijne, Izaak Samuel. 1952. Paradise Vogel. Kitab Batjaan BahasaBelanda. Djakarta: J.B. Wolters Groningen.


Mampioper, Arnold. 1976. Mitologi dan Pengharapan MasyarakatBiak-Numfor. Jayapura: STT GKI I.S. Kijne.

Mampioper, Arnold. 1986. Sistem Pemerintahan Tradisional SukuBiak dan Catatan Perkembangan Umum Pemerintah DaerahIrian Jaya samapai dengan UU Nomor 5 Tahun 1979.Jayapura: Yayasan Bhakti Cenderawasih dan Pusat Studi IrianJaya.

Mansoben, J. R. dkk. 2008. Sketsa Perjalanan Injil dari Maudori.Supiori: CV Rwambonina.

Mulyasa, E. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. SuatuPanduan Praktis. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Muhaimen, dkk. 2008. Pengembangan Model Kurikulum TingkatSatuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah.Jakarta: PT Raja Grafindo.

Muharamsyah. 1975. Wawos ro Ras-ras Biak. Kowilhan IV MalukuIrian Jaya. Biak: Kowilhan.

Ottow, W. 1862. Woordenlijst dre te Doreh en Omstreken GesprokenWordende Myfoorsche (Noemfoors, Mafoors, Numfoorrs etc.)Tall. Nieuw-Guinea. Amsterdam: Fred Muller.

Rumbrawer, Frans. 1986. Interferensi Frasa Bahasa Biak terhadapBahasa Indonesia Tulis Siswa Kelas II SMP Negeri KoremBiak Utara. Skripsi Sarjana Pendidikan. Bandung: JurusanPendidikan Bahasa dan Sastera Indonesia IKIP Bandung.

Rumbrawer, Frans & Christ Fautngil. 1995/1996. Kamus BahasaIndonesia-Biak A—K. Laporan Penelitian. Proyek PenelitianBahasa dan Sastera Indonesia. Pusat Pembinaan danPengembangan Bahasa. Jayapura: Kanwil Depdikbud.

Rumbrawer, Frans & Christ Fautngil. 1996/1997. Kamus BahasaIndonesia-Biak L—Z. Laporan Penelitian. Proyek PenelitianBahasa dan Sastera Indonesia. Pusat Pembinaan & PengembBahasa. Jayapura: Kanwil Depdikbud.

Rumbrawer, Frans. 1997. Menggali Potensi Cerita Rakyat sertaMemberdayakan SDM Irian Melalui Perfileman Nasional.Makalah Disampaikan pada Pekan Apresiasi dan Diskusi FilmNasional 1997. Kerja Sama Uncen dengan Dirjen PerfilemanNasional Deppen RI. Jayapura: Uncen.

Rumbrawer, Frans. 2000. Penelitian Bahasa Daerah di ProvinsiPapua. Makalah Disampaikan pada Konfrensi Bahasa Daerahdi Jakarta, 6 – 8 November 2000. Jakarta: Pusat Bahasa.

Rumbrawer, Frans. 2001. Mengaktifkan Pelajaran Muatan LokalBahasa dan Sastera Lisan Biak sebagai Upaya MemperkuatJati Diri Etnik Biak. Makalah Disampaikan pada Seminar danLokakarya Pengembangan Kebudayaan dan PariwisataKabupaten Biak-Numfor, di Biak, 12 – 14 Agustus 2001.

Rumbrawer, Frans. 2007.Orang Papua Meratapi KetanlestarianKeanekaragaman Bahasa Daerah di Tanah Papua. MakalahDisampaikan pada Kongres Bahasa Daerah Internasional diAmbon, 6 – 8 Agustus 2007.

RRI Biak. 1980-an. Kabar ro Wos Byak. Kumpulan Teks SiaranBahasa Biak. Biak: Bagian Siaran RRI Biak.

Silzer, Piter & Helja Heiikenen Clouse. 1991. Index of Irian JayaLanguages.
Second Edition. A Special Publocation of Irian.Buletin of Irian. Jayapura: SIL.

Soeparno. 1975. Kamus Bahasa Biak-Indonesia. Jakarta: PusatPembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Steinhawer, Hein. 1985. Number in Biak. Countervidence Two AllegedLanguage Universals Bijragen Tot de Taal-Land EnFolkenkunde.

Tim Pustaka Yustisia. 2007. Panduan Lengkap KTSP. Yogyakarta:Pustaka Yustisia.


Frans Rumbrawer

Makalah ini disampaikan pada Kongres Internasional IX Bahasa Indonesia di Jakarta, 28 Oktober – 1 November 2008.

DIarsipkan di bawah: Pengajaran Bahasa dan Sastra Tagged: Pengajaran

Mengintip Papuan Knowledge Center di Kotaraja Pasca Peresmian

Sumber: Cepos 12 September 2008 04:48:41

Kantor Kosong, Belum Ada Aktivitas

Sejak pekan lalu satu lembaga yang penting hadir di Papua yaitu Papua Knowledge Center atau Pusat Pengetahuan Papua yang terletak di Kotaraja. Seperti apa sebenarnya Papua Knowledge Center itu dan bagaimana pula setelah ia diresmikan, berikut laporannya.
Laporan RAHMATIAHari ini, Papua Knowledge Center For People Driven Development atau Pusat Pengetahuan Papua Untuk Gerakan Pembangunan Kampung, berusia satu minggu setelah diresmikan oleh Gubernur Papua Barnabas Suebu, SH, Jumat (5/9).

Lembaga yang dibentuk atas instruksi gubernur dan didukung penuh oleh PT Freeport Indonesia, saat peresmiannya dihadiri Presiden Direktur PT FI itu Armando Mahler. Saat itu, Armando mengatakan bahwa pihaknya menyambut gembira berdirinya lembaga itu. "Tatkala disadari bahwa masih dubutuhkan data dan pengetahuan yang lebih mendalam untuk mulai menerapkan paradigma baru, maka kami menyambut gembira kepercayaan yang diberikan oleh Gubernur Papua untuk menfasilitasi pembentukan sebuah center,"ungkapnya kala itu. katanya.

Dalam peresmian yang dilakukan sepekan lalu, juga diramaikan dengan pameran yang diikuti sejumlah instansi di jajaran Pemprov.Papua yang memamerkan sejumlah keberhasilan pembangunan di Papua.

Kehadiran lembaga ini tentunya sangat dinantikan masyarakat. Sebab rencananya di apua Knowledge Center For People Driven Development akan disajikan data mengenai kampung-kampung di Papua dalam arti luas. Namun sayangnya, setelah diresmikan hingga, Kamis (11/9) kemarin belum terlihat adanya aktifitas di lembaga tersebut.

Saat Cenderawasih Pos mengungunjunginya, kantor tersebut masih kosong dan belum ada kegiatan operasional dan juga belum ada staf yang melakukan aktifitas, selain orang staf Sekretariat PNPM Respek. "Kami juga tidak tahu siapa saja stafnya dan bagaimana kerjanya, karena sampai sekarang ini belum ada kegiatannya," kata salah seorang staf yang mengaku bernama Isworo. Menurut pria ini, sejak diresmikan hingga sekarang, Knowledge Center memang belum operasional. Karena sedang melakukan pembenahan dan persiapan. "Yang saya tahu, mereka sedang berbenah dan mempersiapkan kantornya diatas," katanya.

Ironisnya lagi tidak jelas yang mana tempat di gedung itu yang akan dijadikan kantor untuk Knowledge Center, kendati disebutkan nanti kantornya terletak di lantai dua. Tetapi dimana posisinya yang pasti juga tidak jelas. Sebab dalam gedung yang cukup besar tersebut nantinya akan menjadi kantor bersama karena lembaga-lembaga donor juga akan ikut berkantor di gedung itu.

Ketika Cenderawasih Pos mencoba mengintip ruangan di lantai dua, termasuk tempat yang dijadikan pameran pada saat peresmian, tempat itu kini kosong. Yang terlihat di dalam ruangan hanya sampah kertas berserakan di lantai sisa-sisa pesta peresmian beberapa waktu lalu. Dalam ruangan tersebut juga terlihat lemari berisi buku tetapi tetap saja ruangan itu terlihat tak beraturan.

Pengoperasian Knowledge Center ini tentunya sangat dinantikan masyarakat. Untuk itu lembaga yang nantinya menjadi Pusat Pengetahuan Papua ini dapat segera beroperasi.*

Terancamnya Bahasa Daerah

Written by wijayalabs Artikel, Pendidikan Oct 26, 2009



Menjelang hari sumpah pemuda ini, ada hal yang selalu kita pikirkan yaitu tentang bersatunya berbagai suku di Indonesia dalam menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Para leluhur kita tentu sangat bangga menggunakan bahasa Indonesia. Namun, sebagai putera daerah yang dilahirkan dari suku sunda, tentu saya harus bisa menguasai bahasa daerah priyangan ini. Selain menggunakan bahasa Indonesia yang telah menjadi bahasa nasional dan wajib di negara kita.

Ternyata, dibalik kebanggaan memiliki bahasa persatuan, saya agak terusik juga ketika istri saya bilang bahwa saya adalah orang sunda yang tidak bisa berbahasa sunda. Saya malu juga disentil oleh istri, apalagi bila saya ikut mudik ke kampung istri di Bandung, Saya hanya diam seribu bahasa mendengarkan kakak ipar dan mertua saya bicara. Bahasa daerah ini benar-benar belum saya kuasai, sehingga sering saya bertanya kepada istri atau kakak ipar apa maksud yang dikatakannya. Apalagi bahasa urang Bandung yang terkenal halus pisan euy! Salah-salah saya bisa dipelototin mertua karena saya dalam berucap.

Apa yang saya alami mungkin juga anda alami. Anda berasal dari suku tertentu di Indonesia, tetapi anda tak mengenal bahasa ibu anda. Anda menjadi orang asing di daerah anda sendiri. Anda boleh hebat berbicara dalam bahasa Inggris, dan juga lancar dalam berbahasa Indonesia, tetapi ketika anda ditanya dari suku mana anda berasal, dan anda diajak berbicara bahasa itu, lalu anda tidak mengerti, tentu betapa malunya anda.

Bahasa daerah kini terancam kepunahan. Saya jadi teringat orasi ilmiah Prof. Dr. Arief Rachman., M.Pd. Di hadapan sidang senat Guru Besar dan ratusan undangan yang hadir dalam acara pengukuhan guru besar, Prof. Dr. Arief Rachman, M.Pd. membacakan orasi ilmiah yang berjudul “Kehadiran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris Memusnakan Bahasa daerah Serta Upaya Penyelamatannya”. Beliau dikukuhkan menjadi guru besar bidang Ilmu Pendidikan Bahasa Inggris pada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta.

Orasi yang diselingi dengan penggunaan bahasa daerah oleh pak arief, yang ditegaskan kembali oleh beliau kini semakin punah, memberikan kesadaran dan pemahaman kepada undangan dan sidang senat untuk tetap melestarikan bahasa daerahnya walaupun dunia global tetap mewajibkan bahasa inggris harus di kuasai sebagai bahasa internasional dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.

Dari orasi ilmiah pak Arief itulah saya tersulut untuk mempelajari bahasa dimana orang tua saya berasal. Oleh karena itu, kepada kedua orang anak saya, intan dan berlian, saya ajarkan sedikit demi sedikit bahasa daerah. Saya ingatkan istri saya, apabila di rumah supaya lebih sering menggunakan bahasa sunda selain bahasa Indonesia. Biar mereka terbiasa mempraktikkannya. Sebab bahasa harus sering dipakai karena merupakan alat komunikasi.

Memang agak lucu juga yah! Ketika saya melihat raport kedua anak saya yang masih di SD. Mereka mendapatkan nilai bagus dalam bahasa Inggris, lalu kemudian bahasa Indonesianya. Tetapi ketika masuk kepada nilai bahasa daerah, nilai raport pelajaran ini lebih kecil daripada nilai pelajaran bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Ketika saya tanyakan kenapa bisa begitu kepada kedua putri saya, mereka hanya mengatakan bahwa bahasa daerah yang disampaikan oleh guru di sekolah kurang bisa dipahami dengan mudah. Kata mereka, justru guru yang menyampaikan itu kurang bisa menguasai materinya dengan baik sehingga membuat mereka menjadi kurang tertarik.

Saya terkejut juga dengan ucapan anak-anak saya itu, tetapi setelah saya komparasi dengan teman-teman anak saya, ternyata mereka pun merasakan hal yang sama. Saya menjadi cukup prihatin dengan keadaan ini. Bahasa daerah menjadi terancam, bahkan mungkin sudah punah. Hal ini telah kita saksikan dimana-mana bahwa bahasa daerah mengalami kepunahan.

Dari website kantor berita antara saya pernah membaca beberapa bahasa daerah seperti di Papua dan Maluku telah punah dan terdapat kekhawatiran bahwa 746 bahasa daerah di Indonesia akan terus berkurang. Bahasa yang mengalami kepunahan itu penyebabnya adalah tidak lagi digunakan masyarakat pendukungnya, baik sebagai sarana pengungkap maupun komunikasi seperti apa yang pernah disampaikan Kepala Pusat Bahasa Jakarta, Dendy Sugono di bandar lampung pada bulan Mei 2008. Menurut prediksi para peneliti bahasa, dalam kurun waktu 100 tahun ke depan jumlah bahasa-bahasa di dunia hanya tersisa 50 persen. Lainnya akan punah akibat kuatnya pengaruh bahasa-bahasa utama dalam kehidupan global.

Melihat kenyataan itu, solusi yang harus kita siapkan adalah memperbanyak guru-guru yang mengajarkan bahasa daerah. Mentraining mereka sehingga apa yang mereka sampaikan kepada peserta didik menjadi menarik. Bukan hanya menguasai materi, tetapi mereka juga mampu menguasai metode dan strategi pembelajaran.

Terancamnya bahasa daerah membuat kita harus waspada bahwa dinamika perkembangan bahasa internasional dan nasional jangan sampai menggusur bahasa daerah. Oleh karena itu, pendidikan muatan lokal harus menjadi tambahan pelajaran di setiap daerah di Indonesia. Berbagai keragaman bahasa yang ada di Indonesia harus kita lestarikan seiring dengan tetap eksisnya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Tetap menguasai bahasa internasional agar kita tak terkucil dalam dunia global.

Penguasaan bahasa daerah harus tetap ada dalam diri setiap anak negeri. Mereka harus menyadari dari mana asal-usul mereka dan menguasai bahasa daerahnya, sehingga ketika ada orang yang sekampung atau serumpun, kita bisa saling berbicara dengan bahasa daerahnya masing-masing. Seperti apa yang pernah saya alami ketika berada di Istambul Turki. Saya bertemu dengan orang Bandung yang sudah lama menetap di Istambul,dan mereka langsung berbicara dengan bahasa sunda, “Kumaha damang?” Lalu jawab saya, “Abdi pangestu”.




Salam Blogger persahabatan
omjay



Sumber:

http://bloggerbekasi.com/2009/10/26/terancamnya-bahasa-daerah.html

Terancamnya Bahasa Daerah

Written by wijayalabs Artikel, Pendidikan Oct 26, 2009

Menjelang hari sumpah pemuda ini, ada hal yang selalu kita pikirkan yaitu tentang bersatunya berbagai suku di Indonesia dalam menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Para leluhur kita tentu sangat bangga menggunakan bahasa Indonesia. Namun, sebagai putera daerah yang dilahirkan dari suku sunda, tentu saya harus bisa menguasai bahasa daerah priyangan ini. Selain menggunakan bahasa Indonesia yang telah menjadi bahasa nasional dan wajib di negara kita.

Ternyata, dibalik kebanggaan memiliki bahasa persatuan, saya agak terusik juga ketika istri saya bilang bahwa saya adalah orang sunda yang tidak bisa berbahasa sunda. Saya malu juga disentil oleh istri, apalagi bila saya ikut mudik ke kampung istri di Bandung, Saya hanya diam seribu bahasa mendengarkan kakak ipar dan mertua saya bicara. Bahasa daerah ini benar-benar belum saya kuasai, sehingga sering saya bertanya kepada istri atau kakak ipar apa maksud yang dikatakannya. Apalagi bahasa urang Bandung yang terkenal halus pisan euy! Salah-salah saya bisa dipelototin mertua karena saya dalam berucap.

Apa yang saya alami mungkin juga anda alami. Anda berasal dari suku tertentu di Indonesia, tetapi anda tak mengenal bahasa ibu anda. Anda menjadi orang asing di daerah anda sendiri. Anda boleh hebat berbicara dalam bahasa Inggris, dan juga lancar dalam berbahasa Indonesia, tetapi ketika anda ditanya dari suku mana anda berasal, dan anda diajak berbicara bahasa itu, lalu anda tidak mengerti, tentu betapa malunya anda.

Bahasa daerah kini terancam kepunahan. Saya jadi teringat orasi ilmiah Prof. Dr. Arief Rachman., M.Pd. Di hadapan sidang senat Guru Besar dan ratusan undangan yang hadir dalam acara pengukuhan guru besar, Prof. Dr. Arief Rachman, M.Pd. membacakan orasi ilmiah yang berjudul “Kehadiran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris Memusnakan Bahasa daerah Serta Upaya Penyelamatannya”. Beliau dikukuhkan menjadi guru besar bidang Ilmu Pendidikan Bahasa Inggris pada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta.

Orasi yang diselingi dengan penggunaan bahasa daerah oleh pak arief, yang ditegaskan kembali oleh beliau kini semakin punah, memberikan kesadaran dan pemahaman kepada undangan dan sidang senat untuk tetap melestarikan bahasa daerahnya walaupun dunia global tetap mewajibkan bahasa inggris harus di kuasai sebagai bahasa internasional dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.

Dari orasi ilmiah pak Arief itulah saya tersulut untuk mempelajari bahasa dimana orang tua saya berasal. Oleh karena itu, kepada kedua orang anak saya, intan dan berlian, saya ajarkan sedikit demi sedikit bahasa daerah. Saya ingatkan istri saya, apabila di rumah supaya lebih sering menggunakan bahasa sunda selain bahasa Indonesia. Biar mereka terbiasa mempraktikkannya. Sebab bahasa harus sering dipakai karena merupakan alat komunikasi.

Memang agak lucu juga yah! Ketika saya melihat raport kedua anak saya yang masih di SD. Mereka mendapatkan nilai bagus dalam bahasa Inggris, lalu kemudian bahasa Indonesianya. Tetapi ketika masuk kepada nilai bahasa daerah, nilai raport pelajaran ini lebih kecil daripada nilai pelajaran bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Ketika saya tanyakan kenapa bisa begitu kepada kedua putri saya, mereka hanya mengatakan bahwa bahasa daerah yang disampaikan oleh guru di sekolah kurang bisa dipahami dengan mudah. Kata mereka, justru guru yang menyampaikan itu kurang bisa menguasai materinya dengan baik sehingga membuat mereka menjadi kurang tertarik.

Saya terkejut juga dengan ucapan anak-anak saya itu, tetapi setelah saya komparasi dengan teman-teman anak saya, ternyata mereka pun merasakan hal yang sama. Saya menjadi cukup prihatin dengan keadaan ini. Bahasa daerah menjadi terancam, bahkan mungkin sudah punah. Hal ini telah kita saksikan dimana-mana bahwa bahasa daerah mengalami kepunahan.

Dari website kantor berita antara saya pernah membaca beberapa bahasa daerah seperti di Papua dan Maluku telah punah dan terdapat kekhawatiran bahwa 746 bahasa daerah di Indonesia akan terus berkurang. Bahasa yang mengalami kepunahan itu penyebabnya adalah tidak lagi digunakan masyarakat pendukungnya, baik sebagai sarana pengungkap maupun komunikasi seperti apa yang pernah disampaikan Kepala Pusat Bahasa Jakarta, Dendy Sugono di bandar lampung pada bulan Mei 2008. Menurut prediksi para peneliti bahasa, dalam kurun waktu 100 tahun ke depan jumlah bahasa-bahasa di dunia hanya tersisa 50 persen. Lainnya akan punah akibat kuatnya pengaruh bahasa-bahasa utama dalam kehidupan global.

Melihat kenyataan itu, solusi yang harus kita siapkan adalah memperbanyak guru-guru yang mengajarkan bahasa daerah. Mentraining mereka sehingga apa yang mereka sampaikan kepada peserta didik menjadi menarik. Bukan hanya menguasai materi, tetapi mereka juga mampu menguasai metode dan strategi pembelajaran.

Terancamnya bahasa daerah membuat kita harus waspada bahwa dinamika perkembangan bahasa internasional dan nasional jangan sampai menggusur bahasa daerah. Oleh karena itu, pendidikan muatan lokal harus menjadi tambahan pelajaran di setiap daerah di Indonesia. Berbagai keragaman bahasa yang ada di Indonesia harus kita lestarikan seiring dengan tetap eksisnya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Tetap menguasai bahasa internasional agar kita tak terkucil dalam dunia global.

Penguasaan bahasa daerah harus tetap ada dalam diri setiap anak negeri. Mereka harus menyadari dari mana asal-usul mereka dan menguasai bahasa daerahnya, sehingga ketika ada orang yang sekampung atau serumpun, kita bisa saling berbicara dengan bahasa daerahnya masing-masing. Seperti apa yang pernah saya alami ketika berada di Istambul Turki. Saya bertemu dengan orang Bandung yang sudah lama menetap di Istambul,dan mereka langsung berbicara dengan bahasa sunda, “Kumaha damang?” Lalu jawab saya, “Abdi pangestu”.


Salam Blogger persahabatan
omjay

Sumber:
http://bloggerbekasi.com/2009/10/26/terancamnya-bahasa-daerah.html

Pembelajaran Bahasa Daerah (Case Studies in Java- Indonesia)

Pembelajaran bahasa Jawa di tingkat SMA/SMK/MA mungkin sesuatu yang baru dalam dunia pendidikan kita, apalagi setelah sekian lama pembelajaran bahasa Jawa hanya berhenti pada tingkat SMP/MTs. Undang - Undang Nomor : 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang digulirkan pemerintah pusat secara tidak langsung menghegemoni dan memberi keleluasaan daerah untuk lebih memperhatikan potensi daerahnya masing – masing. Dengan diberlakukannya Undang – Undang Nomor : 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan Pemerintah Pusat di bidang Bahasa dan Sastra sastra Daerah telah menjadi kewenangan dan tanggung jawab daerah, dengan demikian diharapkan Bahasa dan Sastra Daerah dapat di lestarikan dan dikembangkan untuk memperkaya khasanah budaya Nasional.
Pelaksanaan Konggres Bahasa Jawa III di Yogyakarta menelurkan gagasan arti pentingnya pembelajaran bahasa Jawa di tingkat SD/MI, SMP/MTs dan SMA/SMK/MA, serta mengamanatkan agar pelajaran bahasa Jawa dimasukkan sebagai kurikulum muatan lokal di tingkat SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA. Melalui rekomendasi dari hasil putusan Konggres Bahasa Jawa III inilah maka Gubernur Jawa Tengah mengeluarkan SK Gubernur No 895.5/01/2005 tertanggal 23 Februari 2005. Surat Keputusan tersebut mengatur tentang Penetapan Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa Jawa pada Jenjang Pendidikan SMA/SMALB/SMK/MA. Geliat pembelajaran bahasa Jawa di tingkat SD/MI, SMP/MTs dalam tulisan ini tidak disinggung lebih lanjut, adapun yang akan dilihat lebih jauh adalah pembelajaran bahasa Jawa di tingkat SMA/SMK/MA. Hal tersebut menarik perhatian untuk lebih dikaji karena keberadaan muatan lokal ini masih baru dan tentunya masih banyak hal – hal yang perlu untuk dicermati. Bentuk – bentuk serta gambaran umum tentang penyusunan kurikulum muatan lokal bahasa Jawa serta penerapannya menjadi faktor utama dalam paparan tulisan ini.

Permasalahan yang muncul dan berkembang dalam pelaksanaan kurikulum khususnya untuk muatan lokal bahasa Jawa di tingkat SMA/SMK/MA yang berkembang saat ini sangat memungkinkan untuk ditinjau ulang , namun sebelum sampai pada bagian tersebut ada beberapa hal yang perlu dicermati antara lain :

a. Mengetahui dan mensikapi karakteristik bahasa Jawa dan permasalahan yang sering muncul di masyarakat, sehingga bisa disusun Kurikulum bahasa Jawa yang sesuai.

b. Menyajikan, menyusun, mengembangkan dan menetapkan Standar Kompetensi serta Kompetensi Dasar yang sesuai karakteristik bahasa Jawa.

c. Menyajikan serta menerapkan perkembangan teknologi informasi sebagai faktor pendukung proses kegiatan belajar mengajar.

Seperti halnya bahasa Indonesia, bahasa-bahasa Daerah juga mempunyai kedudukan dan fungsi yang tidak kalah pentingnya dengan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia. Menurut Hasan Alwi untuk mengetahui dan melihat kedudukan bahasa Daerah kita harus menggunakan dua sudut pandang. Pertama, bahasa Daerah sebagai sebagai sarana komunikasi bagi para penutur yang berasal dari kelompok etnik yang sama. Kedua, bahasa Daerah dalam kaitannya dengan bahasa Indonesia. Dari point pertama maka fungsi bahasa Daerah memiliki lima fungsi, yaitu ;

1. Bahasa Daerah sebagai lambang kebanggaan Daerah.
2. Bahasa Daerah sebagai lambang identitas Daerah.
3. Bahasa Daerah sebagai alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat Daerah.
4. Bahasa Daerah sebagai sarana pendukung kebudayaan Daerah, dan,
5. Bahasa Daerah sebagai pendukung bahasa dan sastra Daerah.

Dan apabila dilihat dari sudut pandang kedua, yaitu dari segi hubungan antara bahasa Daerah dan bahasa Indonesia, maka ada empat fungsi yang diemban oleh bahasa Daerah yaitu ;

1. Bahasa Daerah sebagai pendukung bahasa nasional,
2. Bahasa Daerah sebagai bahasa pengantar pada tingkat permulaan sekolah dasar,
3. Bahasa Daerah sebagai sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia,
4. Bahasa Daerah sebagai pelengkap bahasa Indonesia di dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah.

Menurut catatan Grimes . Indonesia memiliki 672 bahasa Daerah. Adapun keberadaan bahasa-bahasa Daerah tersebut dimungkinkan lama kelamaan akan menyusut atau punah satu demi satu. Oleh karena itu timbul satu pertanyaan apakah dari sekian banyak bahasa Daerah dengan adanya politisasi bahasa Indonesia memiliki potensi dan kekuatan untuk tetap exist (bertahan). Dan tidak semua bahasa Daerah memiliki potensi yang sama, dan untuk mengetahui hal itu maka Krauss membagi bahasa-bahasa alami yang masih digunakan menjadi tiga kelompok . Kelompok pertama terdiri atas bahasa-bahasa yang tidak dikuasai dan, oleh karena itu, tidak dapat digunakan oleh generasi muda dari kelompok penutur bahasa yang bersangkutan (moribun). Kelompok kedua berhubungan dengan bahasa-bahasa yang terancam punah dalam arti bahwa satu atau generasi mendatang dari kelompok etnik yang bersangkutan tidak akan lagi menguasai dan menggunakan bahasa-bahasa tersebut (endangered). Kelompok ketiga berkenaan dengan bahasa-bahasa yang tergolong aman dalam arti tidak terancam oleh kepunahannya (safe). Dari paparan di atas krauss mencoba memberikan wacana tentang proses ketahanan bahasa-bahasa Daerah untuk tetap exist (bertahan), selain ditentukan oleh jumlah penutur, kekuatan dan potensi bahasa Daerah juga ditentukan oleh 3 (tiga) faktor, yaitu faktor budaya atau tradisi tulis, faktor pemakaian dalam bidang pendidikan, dan faktor peranannya sebagai sarana pendukung kebudayaan Daerah.

Menurut laporan Biro Pusat Statistik dari data sensus tahun 1990 terdapat 8 (delapan) bahasa yang penuturnya berjumlah 2.000.000 orang atau lebih, yang menurut teori Krauss termasuk kategori aman (save). Adapun bahasa-bahasa tersebut bisa kita lihat pada tabel di bawah ini dengan urutan penutur terbanyak pada masing-masing bahasa :

NO BAHASA DAERAH JUMLAH PENUTUR

1 Bahasa Jawa 60.267.461 orang
2 Bahasa Sunda 24.155.962 orang
3 Bahasa Madura 6.792.447 orang
4 Bahasa Minangkabau 3.527.726 orang
5 Bahasa Bugis 3.228.742 orang
6 Bahasa Batak 3.120.047 orang
7 Bahasa Banjar 2.755.337 orang
8 Bahasa Bali 2.589.256 orang

Sedangkan bahasa-bahasa Daerah yang tercatat memiliki tradisi tulis ada 10 (sepuluh) bahasa Daerah yaitu untuk bahasa-bahasa Bali, Jawa, Sunda, Bugis/Makasar, Karo, Mandailing, Lampung, Rejang, Toba, dan Kerinci.Banyak bermunculan wacana dan opini publik yang lepas kontrol tentang pengejawantahan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional (persatuan), dan keberadaan bahasa Daerah dalam hubungannya dengan keutuhan dan integritas bangsa. Isu disintegrasi selalu muncul seiring keinginan Daerah, dalam kaitannya dengan pengembangan budaya atau bahasa Daerah muncul ke permukaan. Padahal kalau kita mau memandang permasalahan yang muncul ini lebih bijak, dan mau menjadikan hal tersebut sebagai studi kasus dalam mencari relasi antara pengembangan bahasa Indonesia di satu sisi, dan bahasa Daerah pada sisi yang lain. Mungkin akan kita temukan pecahan-pecahan dari hasil budaya dan pengembangan bahasa Daerah, untuk bisa kita susun menjadi mozaik yang lebih indah dan berkarakter. Bukan malah sebaliknya, bahwa bahasa Indonesia sebagai momok bagi berkembangnya bahasa dan sastra Daerah, begitu juga bahasa Daerah menjadi momok bagi bahasa Indonesia dalam melebarkan sayapnya. Hal ini perlu mendapatkan perhatian serius karena banyak dari sastrawan lokal (Daerah) yang merasa lahannya tergusur dengan adanya pengindonesiaan dalam bahasa, sehingga mereka merasa tidak mendapat porsi yang memadai, dalam kaitannya dengan pengekspresian serta pengaktualisasian sastra, bahasa serta budaya Daerah yang sebetulnya justru merupakan hulu serta hilir dari perkembangan sastra serta budaya Indonesia pada masa mendatang.

Dikatakan hulu, karena sastra, bahasa serta budaya Daerah merupakan sumber serta pendukung perkembangan sastra, bahasa serta budaya nasional kita. Sastra Daerah memperkaya wacana sastra Indonesia, bahasa Daerah memperkaya kosakata bahasa Indonesia sedangkan budaya Daerah menyokong budaya nasional yang kesemuanya itu membentuk sebuah kekarakteristikan serta kekhasan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Hal yang tidak akan di temui di belahan bumi manapun selain Indonesia. Sementara dikatakan hilir karena pada akhirnya kesemuanya itu akan bermuara pada satu tempat yang sama yaitu identitas Ke-Indonesiaan. Asumsi di atas itulah yang kemudian berkembang dan memunculkan wacana perlunya sebuah semangat dan inisiatif daerah untuk kembali memberdayakan apa yang telah dimilikinya, dalam hal ini bahasa, karena setelah penyelenggaraan Republik ini mengalami beberapa perubahan, yang tidak lain merupakan imbas dari globalisasi, maka sistem penyelenggaran Pemerintahan yang bersifat sentralistik atau terpusat, diubah ke arah desentralisasi yang lebih bersifat kedaerahan namun masih dalam kerangka negara kesatuan.

Diberlakukannya Undang-undang Nomor : 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka kewenangan PemerintahPusat di bidang bahasa dan sastra Daerah pun secara otomatis menjadi tanggung jawab Daerah. Sedangkan bagi Pemerintah Pusat, sehubungan dengan perkembangan kebudayaan dan bahasa Daerah ialah dengan mengadakan penerjemahan berbagai hasil kebudayaan Daerah ke dalam bahasa Indonesia. Serta bisa meminimalkan pengambilan secara utuh (adoption) bahasa asing yang berlebihan ke dalam sistem kosakata bahasa Indonesia, serta bisa membendung infiltrasi pengaruh bahasa yang lebih luas lagi, dengan pemberdayaan bahasa Daerah yang kita miliki untuk memperkaya dan mencari padanan kata atau istilah asing yang banyak berserak pada tradisi karya tulis kita saat ini, tak terkecuali di dalam tulisan ini sekalipun. Dan Pemerintah Pusat lebih bisa menfokuskan perhatiannya pada pembinaan serta pengembangan bahasa Indonesia yang lebih baik, sehingga akan tercipta sebuah hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara Pemerintah pusat dengan Pemerintah Daerah, dalam hal pembinaan kebahasaan. Sehingga Pemerintah Daerah tidak merasa was-was bahasa Daerahnya punah, serta Pemerintah pusat bisa memperkaya bahasa Indonesia dengan istilah-istilah yang banyak terdapat dalam bahasa Daerah. selanjutnya silahkan undhuh di www.smada-zobo.jimdo.com

Sumber:

http://www.um-pwr.ac.id/forum/viewtopic.php?id=65

Melestarikan Budaya Tradisional Bukan Hanya Kewajiban Pemerintah

Kamis, 10 Desember 2009 00:34 WIB
MEDAN, KOMPAS.com--Melestarikan seni budaya tradisional bukan hanya semata-mata menjadi kepentingan dan tanggungjawab pemerintah, namun juga kewajiban semua lapisan masyarakat.

Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sultan Syarif Kasim Suska Riau, Dr Ellya Roza, di Medan, Rabu, mengatakan, keterlibatan masyarakat dan komunitas-komunitas yang konsen dalam pelestarian seni budaya mutlak diperlukan.

Pemerintah pusat maupun daerah seharusnya melibatkan dan menggandeng masyarakat setempat dalam upaya pelestarian seni budaya dan pengembangan wisata budaya.
"Pemerintah seharusnya memberikan kesempatan yang sama kepada masyarakat dan komunitas seni budaya setempat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan dan pengembangan wisata budaya," katanya.

Dengan demikian, tambahnya, masyarakat setempat tidak saja dapat meningkatkan kesejahteraannya namun masyarakat secara tidak langsung juga dilibatkan dalam upaya pelestarian seni budaya.

Salah satu bentuk dukungan dari pemerintah terhadap berbagai komunitas seni budaya yang tersebar di beberapa daerah dapat dilakukan dengan cara melibatkan mereka dalam pendataan, inventarisasi, pendokumentasian, pengembangan seni budaya tradisional.

Ia mengatakan, Indonesia sangat berkepentingan untuk menjaga dan melestarikan beragam seni budaya tradisional agar terus dapat dinikmati oleh generasi berikutnya.

Untuk itu perlu adanya serangkaian kebijakan yang terencana, komprehensif dan terintegrasi dari pemerintah pusat maupun daerah untuk melindungi seni budaya tradisional ini dari ancaman kepunahan sepihak dari negara lain.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melaksanakan pendataan, inventarisasi dan pendokumentasian beragam seni budaya yang terdapat di setiap daerah sebelum seni budaya yang masih ada tersebut punah.

Penerjemah Naskah Kuno Sunda Langka

Sabtu, 13 Juni 2009 22:27 WIB
BANDUNG, KOMPAS.com--Sebanyak 143 naskah kuno Sejarah kerajaan Sunda Padjajaran dan Siliwangi di Jawa Barat, baru sekitar 43 Naskah yang sudah diterjemahan kedalam Bahasa Indonesia.

Kepala Museum Sribaduga Jabar Pramaputra, mengatakan itu di Bandung, Sabtu dan menyebutkan, museum Sri Baduga sangat kesulitan mencari sumber daya manusia yang bisa menterjemahkan naskah itu.

"Saat ini di Jawa Barat sudah sangat langka ahli filoloh yang bisa menterjemahkan naskah kuno Jawa Barat." ujarnya.

Selain itu, dalam menterjemahkan naskah kuno perlu waktu yang panjang dan harus hati-hati karena bisa merusak naskah. "Di Meseum Sri Baduga sendiri, dari 143 naskah ada 500 lembar yang harus di terjemahkan dalam bentuk bahasa indonesia," ungkapnya.
Ia menyebutkan, penerjemahan naskah kuno di Jawa Barat dimulai semenjak didirikanya museum Sri Baduga tahun 1980. Namun, selama ini belum semua naskah tersebut bisa diterjemahkan.

"Karena langkanya SDM yang bisa menterjemahkan bahasa kuno yang ada, juga para penerjemah yang sudah meninggal dunia, membuat naskah itu belum ramnpung," katanya.
Sementara itu, pihak museum Sri Baduga telah bekerjasama dengan para peneliti dari perguruan tinggi di Jabar. "Selain bekerja sama dengan para peneliti, kami juga mengundang organisasi masyarakat penerjemah dan sastra Bandung untuk menterjemahkan sedikit demi sedikit naskah kuno yang masih tersimpan," paparnya.

Ia menambahkan, Meseum Sri Baduga Jabar sendiri sedikitnya ada sekitar 6506 berbagai macam koleksi dari mulai Prasejarah sampai Sejarah Jabar yang disimpan di museum dan gudangnya.

"Kita juga perlu ada kesadaran masyarakat mengenai benda-benda bersejarah yang ada di museum," katanya.

Karena itu, sekitar bulan Oktober mendatang, ia akan mengadakan sosialisasi dengan cara membuka pameran-pameran keliling se Jabar.

"Museum akan melakukan pameran keliling Jawa Barat untuk mengenalkan dan menaikan angka kunjungan ke museum" katanya.

Ia menerangkan, di Kota Bandung sendiri sedikitnya ada 15 meseum baik yang dikelola Pemerintah Jawa Barat, Kota Bandung maupun Pemerintah Pusat serta TNI/Polri.

"Kegiatan antar museum itu untuk menaikan angka kunjungan wisata dengan target sekitar 90 ribu wisatawan pada tahun 2009 dan 120 ribu pengunjung pada tahun 2010," terangnya.

Kongres Bahasa-Bahasa Daerah Rekomendasikan UU Bahasa

Kapanlagi.com - Kongres Bahasa-Bahasa Daerah Wilayah Barat di Bandarlampung berlangsung dua hari sejak Senin (12/11) merekomendasikan dukungan bagi penetapan Rancangan Undang Undang Kebahasaan menjadi UU Kebahasaan, untuk memberikan perlindungan secara utuh terhadap bahasa daerah.

Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung, Agus Sri Danardana yang membacakan rumusan rekomendasi hasil Kongres Bahasa-Bahasa Daerah wilayah Barat, di Bandarlampung, Selasa siang, menyebutkan kondisi bahasa-bahasa daerah di Indonesia kini memprihatinkan, beberapa di antaranya bahkan terancam punah, dan itu tidak dapat dibiarkan saja.

Karena itu, hasil Kongres itu merekomendasikan berbagai pihak perlu mendukung dan ikut memperjuangkan RUU Kebahasaan menjadi Undang-Undang Kebahasaan sebagai landasan dalam upaya melindungi, melestarikan, dan mengembangkan bahasa dan sastra daerah sebagai manifestasi Pasal 32, 36, dan 36c Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam kongres yang diikuti utusan dari berbagai daerah di Sumatera, Kalimantan, DKI Jakarta, Jawa, NTT dan Bali itu, terungkap bahwa bahasa dan sastra daerah sebagai bagian dari kebudayaan nasional merupakan lambang kebanggaan dan identitas daerah, sarana komunikasi serta pendukung budaya daerah dan budaya nasional.

Namun pada era global seperti saat ini, keberadaan bahasa dan sastra daerah makin terancam akibat berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat.

Kondisi tersebut harus segera diatasi melalui penanganan secara sungguh-sungguh, terarah, dan terencana, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dengan melibatkan lembaga sosial dan lembaga adat di daerah.

Karena itu, berbagai potensi yang tersedia harus digali dan dimanfaatkan semaksimal mungkin agar bahasa dan sastra daerah tetap lestari, terpelihara, dan berkembang sehingga kedudukan dan fungsi serta peran bahasa daerah pun makin mantap.

Sejumlah poin yang dirumuskan sebagai rekomendasi hasil Kongres Bahasa-Bahasa daerah itu, di antaranya menyatakan potensi bahasa dan sastra daerah serta nilai-nilai luhur dan kearifan lokal yang terkandung di dalamnya, perlu dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menepis budaya global yang dapat mengancam keberadaan bahasa dan sastra daerah.

Guna mendukung upaya pemeliharaan, pelestarian, dan pengembangan bahasa serta sastra daerah, termasuk untuk keperluan perumusan bahasa yang standar di setiap daerah, perlu dilakukan penelitian terhadap berbagai aspek kebahasaan dan kesusasteraan daerah.

Perlu pula dilakukan inventarisasi, dokumentasi, dan kodifikasi terhadap bahasa dan sastra daerah dalam bentuk kamus, tata bahasa, ensiklopedia, dan sejenisnya sebagai acuan bagi masyarakat dalam upaya peningkatan penguasaan bahasa daerah dan peningkatan apresiasi terhadap sastra daerah.

Penguasaan terhadap bahasa daerah dan sikap apresiatif terhadap sastra daerah perlu diturunkan kepada generasi penerus bangsa melalui pengajaran, baik di jalur formal (sekolah) maupun jalur informal (keluarga dan masyarakat).

"Perlu dilakukan berbagai upaya untuk menanamkan kecintaan dan kebanggaan generasi penerus bangsa terhadap bahasa dan sastra daerah," kata Sri Agus Danardana pula.

Kongres juga merekomendasikan agar bahasa daerah tetap lestari dan mampu mengemban fungsinya sebagai sarana komunikasi kedaerahan, dan karena itu peran serta dan kesadaran serta dukungan segenap komponen masyarakat, baik perseorangan, lembaga-lembaga sosial, lembaga adapt, maupun pemerintah sangat diperlukan, dengan tetap menggunakan bahasa daerah tersebut dalam ranah keluarga, adat istiadat, dan seni budaya daerah.

Lembaga-lembaga sosial, lembaga-lembaga pemangku adat, media massa lokal, dan komunitas sastra perlu diberdayakan dan diperankan dalam upaya penanganan terhadap bahasa dan sastra daerah di setiap provinsi.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah, perlu digunakan sebagai acuan dalam penanganan bahasa dan sastra daerah serta dijabarkan ke dalam peraturan-peraturan daerah di setiap provinsi untuk mendukung upaya pemeliharaan, pelestarian, dan pengembangan bahasa serta sastra daerah.

Pemerintah daerah dan lembaga-lembaga terkait di daerah, perlu memberikan dukungan dan fasilitasi terhadap upaya-upaya pemeliharaan, pelestarian, dan pengembangan bahasa serta sastra daerah.

Evaluasi Kantor Pusat Bahasa dan hasil penelitian para ahli bahasa, menunjukkan dari sebanyak lebih 740 bahasa daerah yang dikenal di Indonesia, praktis hanya sekitar 13 bahasa daerah saja yang masih dalam kondisi "aman", dengan penutur dan pengguna masih banyak serta memiliki aksara dan tata bahasa telah dibukukan atau didokumentasikan.

"Kami harapkan setiap Pemda yang memiliki bahasa daerah masing-masing dapat bertanggungjawab untuk mengembangkan dan melestarikan bahasa daerahnya, sehingga tidak sampai mengalami kepunahan," kata Kepala Bidang Pembinaan Pusat Bahasa, Drs Mustakim MHum. (*/boo)

Balai Pengembangan Bahasa Minta Maaf

BANDUNG - Balai Pengembangan Bahasa Daerah Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat meminta maaf sebesar-besarnya atas berbagai kesalahan yang terjadi saat acara Pasanggiri dan Apresiasi Bahasa, Sastra, serta Seni Daerah di Kota Cirebon, Selasa (14/7) malam lalu. Demikian diungkapkan Kepala Balai Pengembangan Bahasa Daerah Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Drs. H. Idin Baidillah, M.Pd., kepada "PR", Kamis (16/7) malam. Pernyataan Idin itu menanggapi kekecewaan para peserta lomba itu, seperti diberitakan sebelumnya. Menurut Idin, kesalahan redaksi di dalam piagam pemenang sama sekali di luar kemampuan panitia sebagai hamba Allah. "Semua kekurangan dalam lomba itu murni merupakan kekhilafan panitia sebagai manusia biasa. Persoalan itu pun segera bisa diselesaikan. Mudah-mudahan dalam lomba berikutnya bisa terselenggara lebih baik lagi," ujarnya. Lebih jauh, Idin mengatakan, lomba yang digelar di tingkat wilayah itu merupakan yang pertama kali digelar, karena pada tahun sebelumnya langsung diadakan di tingkat Provinsi Jabar. "Alasan lomba tersebut digelar di tingkat wilayah adalah untuk mencetak generasi penerus pemelihara bahasa dan budaya daerah," katanya. (A-89)***
Penulis:

http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=87201

Bahasa Jawa sebagai aset budaya daerah

Dipublikasi pada Saturday, 17 November 2007 oleh denmasgoesyono
KONDISI bahasa-bahasa daerah di Indonesia sebagai bagian dari budaya daerah nusantara sekarang ini semakin terdesak oleh perkembangan zaman dan teknologi informasi. Tidak kalah penting yang perlu perhatian khusus, terutama pada tataran golongan muda.
Namun dengan munculnya kebijakan Gubernur Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur untuk memasukkan bahasa Jawa dalam mutan lokal pada pendidikan SD, SMP, dan SMA menjadi angin segar bagi bahasa Jawa khususnya untuk berkembang. Sekarang tergantung kita, mau diapakan,dan bagaimana cara mengajarkan, menanamkan, dan mengembangkan filosofi bahasa daerah kepada anak didik kita sebagai generasi penerus, sehingga eksistensi bahasa daerah dalam kerangka budaya di era teknologi informasi tetap maju dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman.

Dalam pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Jawa, kita memiliki dua landasan yang fundamental. Pertama, ikrar butir ketiga Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, bahwa “Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Dengan kategori “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”, terkandung makna bahwa bahasa daerah termasuk bahasa Jawa memiliki hak hidup yang sama dengan bahasa Indonesia. Kedua, penjelasan Pasal 36 UUD 1945 menyatakan bahwa “Di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik misalnya (bahasa Jawa, Sunda, Madura, dll), bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara.

Sesuai dengan landasan tersebut, bahasa Jawa sebagai bahasa daerah di Indonesia yang terbanyak penuturnya memiliki hak sepenuhnya untuk dihormati dan dipelihara oleh negara. Oleh karena itu, perlu dipikirkan upaya pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Jawa di era teknologi dan informasi yang semakin memprihatinkan perkembangannya.

Pertanyaannya kemudian adalah; siapa yang bertanggung jawab melestarikan eksistensi bahasa dan budaya daerah kita? Guru bahasa daerah, pemerintah daerah, atau orangtua? Jawabnya tentu saja tidak boleh saling tunjuk satu dengan yang lain tetapi bagaimana upaya kita secara bergotong-royong untuk melestarikan dan mengembangkan bahasa dan budaya daerah untuk generasi penerus dan mempersiapkan SDM yang profesional dalam bidang bahasa dan budaya daerah. Eksistensi bahasa daerah Kedudukan bahasa Jawa bagi sebagian masyarakat Jawa merupakan bahasa pertama. Pernyataan itu dapat ditafsirkan bahwa bahasa Jawa masih merupakan alat komunikasi yang efektif di lingkungan keluarga bahkan di masyarakat luas.

Perlu disadari bahwa frekuensi pemakaian bahasa Indonesia yang makin tinggi di berbagai aspek kehidupan masyarakat dan menjangkau wilayah pemakaian bahasa semakin luas, mengakibatkan wilayah pemakaian bahasa Jawa semakin berkurang. Pertemuan yang dulu menggunakan bahasa pengantar bahasa Jawa berangsur-angsur beralih dengan pengantar bahasa Indonesia. Bahasa Jawa saat ini juga semakin “dijauhi” oleh generasi muda.

Meskipun dalam kehidupan sehari-hari mereka masih menggunakan bahasa Jawa, dalam lingkungan yang menghendaki penggunaan bahasa Jawa krama mereka tidak semuanya dapat melakukan dengan baik. Banyak faktor yang menyebabkan mengapa mereka menjadi seperti itu. Di lingkungan keluarga sendiri mereka tidak biasa menggunakan bahasa Jawa dengan benar, di sekolah mereka hanya mendapat pelajaran bahasa Jawa yang terbatas, dalam masyarakat luas mereka melihat kenyataan bahwa bahasa Jawa tidak lagi digunakan dalam aspek kehidupan masyarakat Jawa.

Seidentifikasi Dilihat dari kosakatanya, bahasa Jawa telah mengalami perkembangan yang pesat. Banyak kata baru yang masuk dalam bahasa Jawa, baik yang berasal dari bahasa Indonesia maupun yang berasal dari bahasa lainnya. Masuknya kata baru seperti itu merupakan hal yang wajar dalam bahasa yang masih hidup seperti bahasa Jawa. Merupakan hal yang aneh bila terdapat sebuah bahasa yang kosakatanya tidak bertambah sama sekali dari waktu ke waktu, kecuali bahasa yang sudah mati.

Namun, pemekaran kosakata bahasa Jawa yang cepat telah menimbulkan keprihatinan bagi mereka yang berpegang pada keinginan akan kemurnian bahasa Jawa. Masyarakat penutur bahasa Jawa adalah masyarakat dwibahasawan, yang dalam kehidupan sehari-harinya menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia secara bergantian atau bersamaan. Kondisi itu memberikan kemungkinan yang besar terhadap masuknya kata dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa dan sebaliknya. Hal itu didukung oleh besarnya peranan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa.

Media massa yang menggunakan bahasa Indonesia pun lebih mudah dan lebih menjangkau seluruh lapisan masyarakat penutur bahasa Jawa daripada media massa yang menggunakan bahasa Jawa, sehingga sangat mudah dipahami apabila dalam bahasa Jawa banyak terlihat kata yang bersal dari bahasa Indonesia. Masuknya kata-kata bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa menjadi semakin terbuka. Bahasa Indonesia sendiri sebagai bahasa pemberi mengalami pemasukan kata dari bahasa asing. Kata-kata asing yang menjadi kosakata bahasa Indonesia itu sebagian terserap ke dalam bahasa Jawa. Semuanya akan memperkaya kosakata bahasa Jawa.

Sebagian dari kata-kata bahasa Indonesia yang masuk ke dalam bahasa Jawa semakin mantap penggunaannya dan justru dapat menggeser pemakaian beberapa kata bahasa Jawa sendiri. Misalnya, kata pendidikan, penduduk, keluarga, hadiah, dan pemenang. Kata-kata seperti itu sulit atau tidak selalu dapat digantikan oleh kata-kata bahasa Jawa yang sudah ada. Kata-kata lain yang berasal dari bahasa asing pun mengalami hal seperti itu. Misalnya, kata transmigrasi, imunisasi, donor, target, dan kredit. Kata-kata semacam itu memang sulit digantikan oleh kata bahasa Jawa dan ada pula yang tidak perlu diganti atau diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa.

Uraian di atas memberikan gambaran tentang betapa mudah dan pesatnya pemekaran kosakata bahasa Jawa saat ini dengan cara penyerapan. Akibat penyerapan kata itu, bahasa Jawa dalam bidang kosakata akan menemukan wajahnya yang selalu bergerak dari waktu ke waktu, sehingga keberadaan bahasa Jawa sebagai bahasa yang masih terikat oleh budaya Jawa, dihadapkan kepada kenyataan yang menantang masa depannya.

Sumber:
http://www.ngapak.com/portal/modules.php?name=News&file=article&sid=474

Bahasa Daerah di Era Globalisasi (TAJUK)

OPINI Jum'at, 25 Oktober 1996 Surabaya Post

Dalam Kongres Bahasa Jawa II di Batu, Malang, Selasa (22/10), Dirjen Kebudayaan Depdikbud Prof Dr Edi Sedyawati menyatakan bahwa ada potensi penyusutan penggunaan bahasa Jawa, khususnya di perkotaan, karena di sekolah dan di lingkungan sekitar, bahasa Indonesia lebih banyak digunakan. Dirjen juga menyatakan bahwa untuk melestarikan dan meningkatkan apresiasi penggunaan bahasa Jawa diperlukan pengajaran yang dikemas lebih menarik minat generasi muda. Pernyataan itu menarik karena mewakili keprihatinan akan makin merosotnya bahasa Jawa, sekaligus menawarkan alternatif pemecahan masalah. Kita memahami bahwa bahasa-bahasa daerah merupakan kekayaan budaya bangsa kita yang perlu dilestarikan.

Dengan menguasai dan menggunakan bahasa daerah, kita bisa lebih mudah berkomunikasi dengan nilai, tradisi, etika, rasa, dan batin orangtua dan nenek moyang yang dihasilkan dari pergulatan mereka dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup. Kita bisa belajar tentang prinsip-prinsip dan pedoman-pedoman hidup yang telah dipilih, dihayati, dan ditanamkan oleh para pendahulu kita. Tentu saja kita tidak menelan semuanya, tetapi menyeleksi yang masih bisa digunakan untuk menghadapi tuntutan dan tantangan zaman masa kini. Kemerosotan bahasa daerah disebabkan oleh kenyataan bahwa bahasa daerah bukan merupakan bahasa resmi yang dipakai dalam kehidupan publik. Di sekolah, misalnya, digunakan bahasa nasional, bahasa Indonesia. Akibatnya, bahasa daerah kurang terekspose dan menjadi bahasa tidak resmi dan informal hanya antarpetutur sedaerah. Bahasa daerah tidak lagi menjadi syarat utama untuk keberhasilan seseorang dalam kehidupan publik. Selain itu, kita kini berada di era globalisasi, yang pada dasarnya digerakkan oleh kekuatan kapital yang mencari lahan untuk investasi dan untuk ekspansi pasar. Proses ini menuntut pranata-pranata masyarakat untuk berfungsi memfasilitasi proses globalisasi.

Pranata yang cocok dan memfasilitasi ekspansi kekuatan kapital itu akan bertahan dan berkembang. Sementara pranata yang tidak cocok dengan dan menghambat proses ekspansi kekuatan kapital itu akan tergusur. Karena tidak menjadi bahasa resmi, sementara ini bahasa daerah tampaknya dianggap tidak begitu memfasilitasi proses globalisasi itu. Karenanya, perbaikan kemasan pelajaran bahasa daerah belum tentu merupakan jawaban jitu bagi perkembangan bahasa daerah. Kalau penguasaan bahasa daerah itu merupakan syarat untuk sukses dalam hidup di tengah globalisasi kapital saat ini, tentu tidak disuruh pun generasi muda akan mempelajari dan menggunakannya. Kita tentu tidak perlu berharap bahasa daerah menjadi bahasa publik apalagi bahasa resmi, karena kurang beralasan terutama dalam konteks pembangunan bangsa. Dalam masyarakat kita yang majemuk, bahasa Indonesia telah menjadi salah satu pemersatu bangsa yang bisa diandalkan. Tetapi sebagai bahasa lisan, privat, dan informal, bahasa daerah kiranya akan tetap hidup di tengah masyarakat. Betapapun, bahasa daerah tetap menjadi sarana ekspresi yang lebih efektif dan memuaskan batin bila seseorang berkomunikasi dengan petutur sedaerah.

Fungsi bahasa daerah menjadi alternatif berkomunikasi yang ekspresif sesuai dengan naluri dan batin, sehingga bisa memenuhi kebutuhan kultural kita. Dengan berbahasa daerah dengan orang sedaerah akan bisa mengendurkan saraf-saraf batin dari tekanan-tekanan hidup publik dan tuntutan globalisasi. Tanpa bahasa daerah, kita kekurangan "tempat berteduh" di tengah-tengah kehidupan publik yang sering melelahkan batin kita. (***)

Sumber: : http://www.surabayapost.co.id/96/10/25/06TAJUK.HTML