Sabtu, 26 Desember 2009

Bahasa Indonesia Pemicu Musnahnya Bahasa Daerah

21 November 2007
Ahli bahasa dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI), Jakarta, Prof Dr Multamia Lauder mengungkapkan kenyataan, tanpa disadari pemakaian bahasa nasional sebagai bahasa pengantar di sekolah merupakan pemicu pemusnahan bahasa daerah melalui sektor pendidikan. "Tapi minimnya guru dari kelompok bahasa minoritas, sehingga terpaksa menggunakan bahasa nasional, juga menjadi pemicu kemusnahan bahasa daerah tertentu itu," kata Multamia, pada Kongres Bahasa-Bahasa Daerah wilayah barat di Bandarlampung, pekan lalu. Padahal bahasa itu menjadi aman dan bisa lestari, kalau terus digunakan oleh banyak penutur dalam kehidupan di lingkungan keluarga, masyarakat luas, maupun di sekolah dan tempat umum lainnya. Kongres Bahasa-Bahasa Daerah wilayah barat diikuti para ahli bahasa, utusan berbagai profesi, pejabat pemerintah dan profesional serta wartawan dari berbagai daerah di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan beberapa daerah lainnya.

Menurut Prof Multamia, secara ideal setiap anak berhak mendapatkan pendidikan melalui bahasa ibu, sehingga fraktor transmisi antargenerasi merupakan salah satu faktor terpenting untuk kelangsungan hidup sebuah bahasa.

Dia menyebutkan, secara operasional dikenal lima tahap klasifikasi kesehatan bahasa karena berbagai sebab, mulai dari berpotensi terancam punah, terancam punah, sangat terancam punah, sekarat, hingga punah benar-benar.

Dia mengemukakan, sebanyak 85 persen penduduk Indonesia masih menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa sehari-hari di rumah. "Bahasa ibu itu adalah jendela untuk melihat realitas dunia yang sangat kompleks dan sebagai pembentuk perilaku serta jati diri," kata dia lagi. Bahasa ibu itu juga menjadi jembatan untuk memahami ekspresi nilai, norma, aturan, adat kebiasaan, dan kearifan lokal menjaga lingkungan.

Di Indonesia, disebutkan terdapat sedikitnya 726 hingga 742 bahasa daerah yang tersebar di seluruh tanah air, namun hanya 13 bahasa daerah yang tergolong aman karena penuturnya masih banyak, memiliki aksara dan tata bahasa serta kamus, telah didokumentasikan, serta masih diajarkan di sekolah serta digunakan di lingkungan keluarga maupun masyarakat luas. Ketigabelas bahasa daerah itu adalah bahasa Aceh, Batak, Melayu, Minangkabau, Rejang, Lampung, Sunda, Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bugis, dan Makassar.

UU Bahasa

Kongres Bahasa-Bahasa Daerah Wilayah Barat di Bandarlampung merekomendasikan dukungan bagi penetapan Rancangan Undang Undang Kebahasaan menjadi UU Kebahasaan, untuk memberikan perlindungan secara utuh terhadap bahasa daerah.

Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung, Agus Sri Danardana yang membacakan rumusan rekomendasi hasil Kongres Bahasa-Bahasa Daerah wilayah Barat, di Bandarlampung menyebutkan kondisi bahasa-bahasa daerah di Indonesia kini memprihatinkan, beberapa di antaranya bahkan terancam punah, dan itu tidak dapat dibiarkan saja.

Hasil Kongres itu merekomendasikan berbagai pihak perlu mendukung dan ikut memperjuangkan RUU Kebahasaan menjadi Undang-Undang Kebahasaan sebagai landasan dalam upaya melindungi, melestarikan, dan mengembangkan bahasa dan sastra daerah sebagai manifestasi Pasal 32, 36, dan 36c Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam kongres yang diikuti utusan dari berbagai daerah di Sumatera, Kalimantan, DKI Jakarta, Jawa, NTT dan Bali itu, terungkap bahwa bahasa dan sastra daerah sebagai bagian dari kebudayaan nasional merupakan lambang kebanggaan dan identitas daerah, sarana komunikasi serta pendukung budaya daerah dan budaya nasional.

Namun pada era global seperti saat ini, keberadaan bahasa dan sastra daerah makin terancam akibat berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat.

Kondisi tersebut harus segera diatasi melalui penanganan secara sungguh-sungguh, terarah, dan terencana, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dengan melibatkan lembaga sosial dan lembaga adat di daerah.

Berbagai potensi yang tersedia harus digali dan dimanfaatkan semaksimal mungkin agar bahasa dan sastra daerah tetap lestari, terpelihara, dan berkembang sehingga kedudukan dan fungsi serta peran bahasa daerah pun makin mantap.

Sejumlah poin yang dirumuskan sebagai rekomendasi hasil Kongres Bahasa-Bahasa daerah itu, di antaranya menyatakan potensi bahasa dan sastra daerah serta nilai-nilai luhur dan kearifan lokal yang terkandung di dalamnya, perlu dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menapis budaya global yang dapat mengancam keberadaan bahasa dan sastra daerah.

Guna mendukung upaya pemeliharaan, pelestarian, dan pengembangan bahasa serta sastra daerah, termasuk untuk keperluan perumusan bahasa yang standar di setiap daerah, perlu dilakukan penelitian terhadap berbagai aspek kebahasaan dan kesusasteraan daerah.

Perlu pula dilakukan inventarisasi, dokumentasi, dan kodifikasi terhadap bahasa dan sastra daerah dalam bentuk kamus, tata bahasa, ensiklopedia, dan sejenisnya sebagai acuan bagi masyarakat dalam upaya peningkatan penguasaan bahasa daerah dan peningkatan apresiasi terhadap sastra daerah.

Penguasaan terhadap bahasa daerah dan sikap apresiatif terhadap sastra daerah perlu diturunkan kepada generasi penerus bangsa melalui pengajaran, baik di jalur formal (sekolah) maupun jalur informal (keluarga dan masyarakat).

"Perlu dilakukan berbagai upaya untuk menanamkan kecintaan dan kebanggaan generasi penerus bangsa terhadap bahasa dan sastra daerah," kata Sri Agus Danardana pula.

Kongres juga merekomendasikan agar bahasa daerah tetap lestari dan mampu mengemban fungsinya sebagai sarana komunikasi kedaerahan, dan karena itu peran serta dan kesadaran serta dukungan segenap komponen masyarakat, baik perseorangan, lembaga-lembaga sosial, lembaga adapt, maupun pemerintah sangat diperlukan, dengan tetap menggunakan bahasa daerah tersebut dalam ranah keluarga, adat istiadat, dan seni budaya daerah.

Lembaga-lembaga sosial, lembaga-lembaga pemangku adat, media massa lokal, dan komunitas sastra perlu diberdayakan dan diperankan dalam upaya penanganan terhadap bahasa dan sastra daerah di setiap provinsi.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah, perlu digunakan sebagai acuan dalam penanganan bahasa dan sastra daerah serta dijabarkan ke dalam peraturan-peraturan daerah di setiap provinsi untuk mendukung upaya pemeliharaan, pelestarian, dan pengembangan bahasa serta sastra daerah.

Pemerintah daerah dan lembaga-lembaga terkait di daerah, perlu memberikan dukungan dan fasilitasi terhadap upaya-upaya pemeliharaan, pelestarian, dan pengembangan bahasa serta sastra daerah. Evaluasi Kantor Pusat Bahasa dan hasil penelitian para ahli bahasa, menunjukkan dari sebanyak lebih 740 bahasa daerah yang dikenal di Indonesia, praktis hanya sekitar 13 bahasa daerah saja yang masih dalam kondisi "aman", dengan penutur dan pengguna masih banyak serta memiliki aksara dan tata bahasa telah dibukukan atau didokumentasikan.

"Kami harapkan setiap Pemda yang memiliki bahasa daerah masing-masing dapat bertanggungjawab untuk mengembangkan dan melestarikan bahasa daerahnya, sehingga tidak sampai mengalami kepunahan," kata Kepala Bidang Pembinaan Pusat Bahasa, Drs Mustakim MHum.

Kantor Pusat Bahasa perlu memiliki siaran televisi tersendiri, untuk menjadi alat yang efektif dalam menyebarluaskan informasi terbaru dan komunikasi berkaitan pengembangan maupun penggunaan Bahasa Indonesia serta pelestarian bahasa daerah. Kebutuhan adanya siaran televisi tersendiri untuk kepentingan pengembangan dan pelestarian bahasa di Indonesia.

Kongres itu diikuti perwakilan dari beberapa provinsi Sumatera dan Indonesia wilayah barat, menghadirkan sejumlah ahli bahasa maupun peneliti bahasa daerah dari berbagai tempat di tanah air.
Kepala Bidang Pembinaan Pusat Bahasa, Drs Mustakim MHum membenarkan, upaya pengembangan Bahasa Indonesia dan pelestarian bahasa daerah yang terancam punah di tanah air itu, memerlukan dukungan media komunikasi dan informasi sehingga dapat menyebarluas secara efektif kepada masyarakat.

Selama ini, menurut dia, media massa dan para wartawan menjadi mitra utama Kantor Pusat Bahasa dalam menjalankan program kebahasaan, termasuk menyampaikan hal dan kebijakan maupun kosa kata baru hasil pengkajian mereka untuk disampaikan kepada masyarakat luas.

Televisi nasional dan lokal juga menjadi sarana cukup efektif, untuk menyampaikan perkembangan terbaru Bahasa Indonesia dan bahasa daerah itu.

Namun untuk dapat memiliki jam tayang secara lebih luas dan merata, terutama pada jaringan televisi nasional, memerlukan dukungan pembiayaan yang cukup besar.

"Kalau menggunakan media televisi lokal atau media lainnya sampai ke daerah-daerah, Pusat Bahasa masih memiliki kemampuan, tapi untuk menggunakan jaringan televisi nasional biayanya sangat besar," ujar Mustakim lagi.

Karena itu, Kantor Pusat Bahasa sebaiknya memang memiliki sendiri televisi siaran yang khusus untuk menyampaikan informasi tentang kebahasaan ke seluruh penjuru tanah air.

"Mudah-mudahan dalam waktu tidak lama lagi, Pusat Bahasa dapat memiliki televisi siaran bahasa tersendiri seperti yang diinginkan itu," demikian Mustakim yang mewakili Kepala Pusat Bahasa, Dr Dendy Sugono pula.

Source:
dwidjo utomo

http://kbi.gemari.or.id/beritadetail.php?id=4524

1 komentar:

  1. Setuju.....
    karena dalam ikrar ketiga sumpah pemuda bunyinya
    MENJUNJUNG TINGGI BAHASA PERSATUAN BAHASA INDONESIA......TIDAK MENGAKU BERBAHASA SATU....Karena kita pemuda waktu itu sadar bahwa bahasa ibu / daerah adalah aset yang tak ternilai harganya.....JANGAN BIARKAN BAHASA DAERAH KITA MUSNAH....karena apapun bahasamu kita tetaplah satu nusa dan satu bangsa...MERDEKA

    BalasHapus